Jakarta, CNN Indonesia --
DPR RI telah memasukkan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset kini ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
"Terdapat tiga RUU yang diusulkan untuk masuk ke dalam perubahan kedua Prolegnas RUU prioritas 2025, yaitu satu RUU tentang Perampasan Aset," kata Ketua Baleg DPR Bob Hasan di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). Anggota DPR bergerak cepat setelah demo besar melanda sejumlah daerah akhir Agustus lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amerika Serikat adalah negara yang sudah memberlakukan Undang-undang Perampasan Aset Komprehensif (Comprehensive Crime Control Act of 1984) yang diinisiasi oleh Joe Biden kala duduk di parlemen pada 1983 silam.
Dalam beleid ini, pemerintah AS berhak menyita aset yang diperoleh dari kegiatan kriminal, terutama dari perdagangan narkoba.
RUU ini mencakup reformasi pada berbagai aspek peradilan pidana, termasuk jaminan, penjatuhan hukuman, perampasan aset, dan penanganan kejahatan narkoba.
Undang-undang ini merupakan perluasan dari Undang-undang Pemerasan, Pengaruh, dan Organisasi Korup atau Racketeering Influence and Corrupt Organizations (RICO) pada tahun 1970. Target perampasan aset pada 1970 adalah para bos kejahatan yang kaya raya.
Jaksa G Robert Blakey, yang pernah bekerja di bawah Jaksa Agung Robert Kennedy dan beberapa anggota kongres, kemudian berupaya memperluas cakupannya.
Ia membantu merancang rancangan undang-undang untuk konsep hukum baru, "perampasan kriminal", yang memungkinkan polisi menyita keuntungan yang diperoleh secara ilegal dari seorang penjahat yang dihukum.
Terinspirasi dari film gangster
Yang menarik, Undang-undang ini diberi singkatan RICO. Kebetulan Jaksa Blakey adalah penggemar film Little Caesar tahun 1931, dan akronim tersebut diambil dari karakter favorit Blakey dari film tersebut, gangster Rico Bandello.
Rico adalah mafia Italia-Amerika Serikat yang membangun jaringan kejahatan dari kelas teri hingga kakap.
Dikutip dari situs Mises Institute, Undang-Undang RICO tidak dirancang untuk menjadi bagian dari perang melawan narkoba; undang-undang ini hanya ditujukan untuk menyasar kekayaan para penjahat.
Namun, ketika Richard Nixon jadi Presiden, Undang-Undang RICO menjadi salah satu dari sejumlah instrumen baru yang dapat digunakan oleh anggota Biro Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya (pendahulu Badan Penegakan Narkoba (DEA)) yang baru dibentuknya untuk memerangi narkoba. Dikombinasikan dengan inovasi hukum lainnya, seperti penggerebekan tanpa pemberitahuan dan hukuman minimum wajib, Nixon dan pemerintahannya berhasil menyembuhkan Amerika dari ancaman narkoba.
Namun saat Joe Biden jadi Senator muda dari Delaware, dia melakukan sesuatu untuk menunjukkan bahwa terlepas dari reputasinya yang "liberal", ia bisa sama tegasnya dalam memberantas kejahatan seperti rekan-rekannya di Partai Republik.
Ia memperhatikan Undang-Undang RICO, dan menyadari bahwa lembaga penegak hukum tidak memanfaatkannya, terutama dalam perang melawan narkoba. Ia menghubungi Kantor Akuntansi Umum dan meminta mereka untuk membuat studi tentang potensi penggunaan RICO untuk penegakan hukum narkoba.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang RICO memberikan kewenangan yang sangat besar kepada polisi untuk menyita aset terkait narkoba, tetapi kewenangan ini tidak dimanfaatkan.
"Pemerintah belum menjalankan kepemimpinan dan manajemen yang diperlukan untuk menjadikan penyitaan aset sebagai teknik penegakan hukum yang banyak digunakan," demikian pernyataan laporan tersebut.
Dari sanalah kemudian UU Perampasan Aset Komprehensif lahir.
(imf/bac)