Ada Korupsi, Pungli di Balik Pengangguran 1 Juta Sarjana RI, Kok Bisa?

8 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Setiap tahun, ribuan wisudawan bersorak gembira di gedung-gedung kampus, mengangkat toga tinggi-tinggi merayakan kelulusan mereka.

Mereka berharap usai lulus kuliah bisa kerja di kantor impian, membawa pulang gaji,dan lambat laun membangun kehidupan yang lebih baik.

Namun kenyataan berkata lain. Mereka menghadapi kenyataan pahit; sulit mencari pekerjaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sulitnya sarjana mencari kerja setidaknya terlihat dari data yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker)Yassierli dalam Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2025 pada Rabu (2/7) lalu.

Data menunjukkan jumlah pengangguran Indonesia secara keseluruhan menyentuh 7,28 juta orang. Mirisnya, dari jumlah itu, sekitar 1,01 juta di antaranya sarjana atau dari golongan terdidik.

Selain lulusan S1, data Yassierli menunjukkan pengangguran terdiri dari 177 ribu diploma, 1,62 juta lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 2,03 juta lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 2,42 juta lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Banyaknya sarjana yang menganggur menimbulkan pertanyaan besar; mengapa lulusan sarjana yang seharusnya menjadi sumber daya manusia berkualitas justru kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dimana letak masalahnya?

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi mengatakan ada dua masalah yang menjadi penyebabnya.

Pertama, kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

"Kurikulum perguruan tinggi seringkali kurang relevan terhadap perkembangan dunia kerja terutama dalam bidang teknologi. Perguruan tinggi belum bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi pasar kerja," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Penyebab kedua adalah pertumbuhan sektor pekerja formal yang lambat.

Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, proporsi pekerja sektor formal hanya 40,60 persen dari total angkatan kerja, sedangkan 59,40 persen sisanya bekerja di sektor informal.

Dibandingkan Februari 2024, persentase penduduk bekerja pada sektor formal turun 0,23 persen.

Sejumlah pencari kerja mengunjungi pameran bursa kerja Jakarta Job Fair di Tamini Square, Jakarta Timur, Rabu (2/10/2024). (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)Sejumlah pencari kerja mengunjungi pameran bursa kerja Jakarta Job Fair di Tamini Square, Jakarta Timur, Rabu (2/10/2024). (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)

Tadjudin mengatakan minimnya pekerjaan formal terjadi karena sedikitnya investasi yang masuk ke Tanah Air. Data Kementerian Investasi mencatat total investasi baik asing maupun domestik yang masuk ke Indonesia sebanyak Rp1.714,2 triliun pada 2024.

Angka tersebut sebenarnya melebihi target pemerintah sebesar Rp1.650 triliun. Namun, Tadjudin menilai jumlah tersebut belum cukup untuk membuka lapangan kerja yang bisa menampung para sarjana.

Pasalnya, investasi justru banyak masuk ke sektor padat modal yang minim penyerapan tenaga kerjanya.

Menurutnya, investor enggan masuk ke Indonesia karena rumitnya birokrasi, ketidakpastian hukum, serta sumber daya manusia yang tidak sesuai dengan kemauan mereka.

Ia menyarankan pemerintah dalam jangka pendek harus segera menyiapkan banyak lapangan kerja. Sementara untuk jangka panjang, ia menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan.

"Sistem pendidikan perguruan tinggi harus disesuaikan dengan pasar kerja," katanya.

Senada, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan 1 juta sarjana menganggur disebabkan skill mismatch.

Hal ini terjadi karena kurikulum kampus masih terlalu fokus pada pengetahuan teoritis, tapi minim penguasaan praktis.

Penyebab lainnya adalah keterbatasan lapangan kerja untuk lulusan S1. Apalagi investasi asing dan domestik sebagian besar masuk pada sektor padat modal seperti pertambangan, infrastruktur, dan energi yang meskipun menghasilkan output ekonomi besar, tetapi kontribusi serapan tenaga kerja berpendidikan tingginya kecil.

Ia mencontohkan masuknya investasi smelter nikel di Sulawesi Tenggara yang hanya membuka lapangan kerja bagi sekitar 1.500 orang per pabrik di mana mayoritas adalah operator mesin dan teknisi.

Sedangkan posisi analis, engineer, dan manajerial umumnya diisi oleh tenaga kerja asing yang didatangkan oleh investor untuk menjamin standar produksi global.

Sedangkan di sektor digital, meski e-commerce dan fintech tumbuh pesat, struktur perusahaan digital Indonesia masih relatif ramping dan efisien dalam penggunaan SDM.

Satu unicorn katanya rata-rata hanya mempekerjakan 500-6.000 orang.

"Artinya, investasi digital padat karya terdidik belum memiliki skala masif seperti harapan pemerintah," katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, ia menyarankan empat solusi.

Pertama, pemerintah harus merevitalisasi sistem pendidikan agar benar-benar industry-driven curriculum. Kampus dan industri katanya harus duduk bersama merumuskan kompetensi yang dibutuhkan 5-10 tahun ke depan.

"Kedua, pemerintah perlu menciptakan insentif fiskal bagi perusahaan yang membuka lowongan untuk fresh graduate. Skema seperti graduate employment subsidy di Australia di mana perusahaan mendapat pengurangan pajak ketika merekrut lulusan baru bisa diadopsi," katanya.

Ketiga, arah investasi perlu dikawal agar tidak hanya padat modal, melainkan padat karya terdidik.

Achmad mengatakan investasi di sektor kesehatan, biofarmasi, riset pangan, teknologi informasi, dan industri kreatif memiliki potensi serapan sarjana lebih tinggi dibanding investasi di sektor komoditas primer.

Keempat, Indonesia perlu mempersiapkan program ekspor talenta, seperti Vietnam dan Filipina yang telah sukses menempatkan ribuan perawat, programmer, dan engineer di Jepang, Eropa, dan Timur Tengah.

"Indonesia yang memiliki keunggulan demografi justru tertinggal karena belum memiliki skema penempatan dan perlindungan tenaga kerja terdidik di luar negeri secara masif," katanya.


Read Entire Article
Korea International