Jakarta, CNN Indonesia --
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Mohammad Novrizal menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI Perubahan di DPR tidak memenuhi syarat carry over (mekanisme operan/pemindahan dari periode sebelumnya).
Pernyataan itu disampaikan Novrizal dalam kapasitas sebagai saksi ahli dari pihak pemohon dalam perkara pengujian formal (formil) UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (1/7).
"RUU TNI Perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya," kata Novrizal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan secara carry over harus didasarkan pada surat keputusan DPR yang mengakui mekanisme pembuatannya sebagai carry over.
Pemindahan pembahasan RUU yang sudah berjalan dari suatu periode keanggotaan DPR ke periode berikutnya diatur dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Namun, menurut Novrizal, keterangan DPR dalam sidang sebelumnya -yang menyebut pembentukan UU TNI menggunakan carry over- tidak didasari dengan bukti konkret karena tidak ada dokumen tertulis bahwa RUU TNI Perubahan diputuskan menggunakan mekanisme dimaksud.
"Bahkan tidak ada pula pembaruan SK DPR untuk menerangkan bahwa RUU TNI Perubahan menggunakan mekanisme carry over," ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, Pasal 71A UU P3 juga mensyaratkan carry over tidak hanya berdasarkan kesepakatan politik antara DPR dan Pemerintah, tetapi juga syarat lain seperti RUU telah memasukkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada periode keanggotaan DPR sebelumnya.
Setelah menyelidiki dokumen-dokumen DPR periode terdahulu, Novrizal mengaku mendapati bahwa RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelum periode keanggotaan 2024-2029.
"Kesimpulannya, RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelumnya sehingga tidak memenuhi kualifikasi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over," katanya.
Menurut Novrizal, kondisi tersebut menyebabkan pembuatan UU TNI yang diundangkan pada 26 Maret 2025 itu dapat dianggap tidak memenuhi prosedur.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani saat sesi tanya jawab menyinggung keterangan Presiden pada sidang sebelumnya.
Menurut Arsul, dalam keterangan Presiden disebutkan ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah bahwa pembahasan RUU TNI Perubahan diserahkan kepada DPR periode keanggotaan 2024-2029.
Arsul mengakui kesepakatan yang demikian tidak diatur secara spesifik di dalam UU P3, maka dari itu Arsul bertanya bisa-tidaknya hal tersebut dilakukan menurut kaca mata akademisi hukum tata negara.
"Pertanyaannya, apakah sesuatu yang tidak spesifik diatur dalam UU P3 itu kemudian menjadi tidak boleh dilakukan ketika pembentuk undang-undangnya sepakat? ... Kalau kemudian kita mengatakan itu tidak boleh dilakukan atas dasar apa? Sama juga pertanyaannya, kalau itu boleh dilakukan atas dasar apa juga itu dilakukan?," tanya Arsul.
Menjawab pertanyaan itu, Novrizal mengatakan semua tindakan pejabat negara seharusnya berdasarkan hukum, demi tertibnya penyelenggaraan negara. Ia juga menyebut DPR seharusnya dapat melengkapi peraturan yang belum ada, mengingat parlemen Indonesia sudah berjalan sejak lama.
"DPR kita ini kan bukan baru ... Artinya, DPR itu sebetulnya sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam pembuatan suatu UU ... Jadi, seharusnya DPR kalau memang merasa kurang aturan mainnya di dalam tatib (tata tertib), ya, lengkapilah," katanya.
Sidang gugatan uji formil UU TNI tercatat dalam lima nomor perkara, masing-masing perkara nomor 45, 56, 69,75, dan 81/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, FH Universitas Padjajaran, FH Universitas Gadjah Mada, dan koalisi masyarakat sipil.
Jumlah tersebut merupakan sebagian yang berlanjut ke tahap pengujian dari 11 gugatan yang masuk ke MK. Sisanya, sebanyak lima gugatan telah ditolak karena dinilai tak memiliki kedudukan, dan satu gugatan dicabut.
Lima gugatan yang ditolak yakni gugatan yang diajukan mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia; mahasiswa FH Universitas Internasional Batam; mahasiswa FH Universitas Pamulang; mahasiswa FH Brawijaya; dan masyarakat sipil atas nama Christian Adrianus Sihite serta Noverianus Samosir.
(antara/wis)