Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso merespons fenomena tutupnya sejumlah gerai ritel besar di Indonesia, termasuk jaringan asing seperti GS Supermarket dan Lulu Hypermarket.
Menurutnya, penutupan tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat, melainkan perubahan pola konsumsi dan gaya hidup konsumen.
Budi menekankan ritel berskala besar saat ini tak bisa lagi hanya mengandalkan fungsi sebagai tempat berbelanja. Pasalnya, konsumen kini lebih memilih tempat yang menawarkan pengalaman lebih dari sekadar transaksi jual-beli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu kami sudah komunikasi dengan APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia), menurut mereka bahwa konsep ritel besar itu tidak hanya tempat untuk belanja. Kalau hanya tempat untuk belanja, dia enggak akan laku, karena dia pasti akan kalah dengan online," ujar Budi di Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (8/5).
Ia menjelaskan masyarakat kini cenderung berbelanja dalam jumlah kecil dan lebih sering, sehingga cenderung memilih toko modern terdekat dibanding mengunjungi pusat perbelanjaan besar.
Perubahan ini, menurut Budi, membuat pusat perbelanjaan atau department store harus bertransformasi menjadi tempat dengan nilai tambah, seperti menyediakan sarana hiburan, kuliner, dan tempat bersosialisasi.
"Kalau dulu orang suka belanja untuk kebutuhan seminggu-dua minggu, sekarang belanja itu hanya kebutuhan sehari saat ini. Akhirnya dia belanja di toko terdekat, ke ritel-ritel modern terdekat," katanya.
"Nah, ketika kita diskusi, makanya mal atau department store atau pusat perbelanjaan modern itu yang bertahan itu apabila dia ada experience dan journey. Jadi orang belanja itu kan sambil ingin jalan-jalan, ingin makan, ingin mungkin hangout sama keluarga dan teman-temannya," lanjut Budi.
Budi juga menegaskan penurunan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan besar tidak bisa langsung dikaitkan dengan melemahnya daya beli. Menurutnya, konsumen tetap berbelanja, hanya saja mereka berpindah saluran atau tempat berbelanja.
"Jadi itu karena pola belanja masyarakat yang berubah, daya belinya enggak berpengaruh kan, hanya pindah saja mereka," ujarnya.
Terkait jumlah gerai yang telah tutup tahun ini, Budi belum memberikan angka pasti. Ia hanya menyampaikan tren penutupan toko ritel ini juga terjadi secara global, tidak hanya di Indonesia.
"Nanti saya cek ya, itu enggak hanya di Indonesia lho ya, di Singapura juga tren itu ada," terangnya.
Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah sebelumnya mengonfirmasi rencana penutupan seluruh gerai GS Supermarket di Indonesia pada akhir Mei 2025.
Ia memperkirakan langkah ini diambil karena cakupan pasar GS Supermarket tergolong kecil. Seluruh gerainya, yang berjumlah sekitar 10 unit, akan diambil alih oleh peritel lain.
Penutupan juga terjadi pada Lulu Hypermarket, yang disebut Budihardjo tidak lepas dari tantangan operasional, termasuk kesulitan mendapatkan barang dagangan, perizinan yang kompleks, hingga tindakan premanisme. Kendati demikian, Budihardjo menyatakan sektor ritel nasional masih memiliki prospek positif.
Menurutnya, di tengah penutupan beberapa gerai, masih banyak pelaku usaha yang membuka cabang baru, dengan catatan bahwa konsep dan pendekatan bisnis harus mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan konsumen.
(del/sfr)