Ratusan Wanita Menari Tanpa Henti di Prancis, Korban Tewas Berjatuhan

7 hours ago 2

CNN Indonesia

Minggu, 13 Jul 2025 14:20 WIB

"Wabah menari" sempat merebak di kota Strasbourg Prancis pada era tahun 1500-an. Ilustrasi. Foto: Raventhorne/Pixabay

Jakarta, CNN Indonesia --

Peristiwa ganjil di musim panas di kota Strasbourg, Prancis pada tahun 1518, menjadi teka-teki yang belum terpecahkan hingga kini.

Hampir 400 orang menggerakkan tubuhnya, mengepakkan kedua tangannya seperti burung, dan kaki berjingkat-jingkat di sepanjang jalan. Badan mereka mereka basah oleh keringat dan baju compang-camping.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah hentakan massal seperti festival tari itu, ada satu yang terlihat janggal: tatapan mereka terlihat kosong.

Mereka menari bukan sepanjang malam seperti layaknya sebuah pesta, tapi sepanjang hari dan malam selama dua bulan tanpa henti dari Juli hingga September. Akibatnya, tubuh-tubuh yang dipaksa bergerak itu tak sanggup lagi menahan beban dan rasa sakit.

Kaki mereka melepuh dan berdarah hingga sebagian menemui kematian. Para pejabat kota berkonsultasi dengan para tabib dan tokoh agama untuk mencari solusi kasus ini.

Setelah rapat, dewan kota memutuskan agar para penari itu diberi wadah. Mereka diberi panggung dan musik untuk menyalurkan energinya. Genderang dan terompet dibunyikan untuk mengiri para penari yang tak mau berhenti.

Namun keadaan malah tambah parah. Para penari semakin banyak dan korban pun terus berjatuhan. Apa yang sebenarnya terjadi? Teka-teki 500 tahun silam itu belum terpecahkan hingga kini.

"Wabah menari" adalah kalimat yang sering disematkan pada kasus tersebut. 

The Guardian menuliskan, seorang tabib bernama  Paracelsus pada tahun 1530-an memberi penjelasan. "wabah menari Strasbourg" dimulai pada pertengahan Juli 1518, ketika seorang perempuan sendirian keluar rumah dan menari-nari selama beberapa hari tanpa henti. Dalam seminggu, puluhan orang lainnya terserang dorongan tak tertahankan yang sama.

Sebuah puisi di arsip kota menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya: "Dalam kegilaan mereka, orang-orang terus menari hingga mereka pingsan dan banyak yang meninggal." Dewan merasa telah melakukan kesalahan.

Setelah menyadari bahwa para penari itu mengalami "murka suci", para dewan akhirnya memilih cara "penebusan dosa paksa" dan melarang musik serta tarian di muka umum.

Akhirnya, para penari dibawa ke sebuah kuil yang didedikasikan untuk Santo Vitus, yang terletak di sebuah gua pengap di perbukitan di atas kota Saverne di dekatnya. Santo Vitus dianggap santo pelindung penyakit epilepsi. Namun, masyarakat setempat menganggap, sang santo sedang marah hingga mengutuk mereka dengan kegilaan menari.

Di kuil itu, kaki mereka yang berlumuran darah dimasukkan ke dalam sepatu merah dan mereka digiring mengelilingi patung kayu santo tersebut. Dalam minggu-minggu berikutnya, menurut catatan sejarah, sebagian besar menghentikan gerakan liar mereka.

Epidemi telah berakhir.

Lanjut ke sebelah...


Read Entire Article
Korea International