Jakarta, CNN Indonesia --
Cadaver adalah istilah medis yang merujuk pada tubuh manusia yang telah meninggal dunia (mayat) dan digunakan untuk keperluan pendidikan medis, penelitian ilmiah, atau forensik.
Berbeda dengan jenazah yang umumnya dimakamkan atau dikremasi, cadaver (KBBI: kadaver) memang sengaja diawetkan menggunakan metode khusus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut digunakan untuk mempertahankan struktur anatomi tubuh tetap dalam kondisi baik, untuk keperluan jangka waktu yang lebih lama.
Apa itu cadaver?
Kata "cadaver" berasal dari bahasa Latin "cadere" yang berarti "jatuh" atau "mati". Dilansir dari laman Rxlist, cadaver adalah mayat manusia yang secara legal dapat digunakan untuk keperluan ilmiah dan medis.
Cadaver dinilai memiliki peran yang sangat penting sebagai sarana pembelajaran yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apa pun.
Melalui cadaver, mahasiswa kedokteran dapat mempelajari anatomi manusia secara langsung dengan detail yang tidak mungkin diperoleh dari buku teks atau model plastik.
Selain itu, cadaver juga dapat digunakan oleh dokter dan ilmuwan lain untuk mempelajari anatomi, mengidentifikasi lokasi penyakit, menentukan penyebab kematian, dan menyediakan jaringan untuk memperbaiki cacat pada manusia yang masih hidup.
Pentingnya cadaver dalam dunia ilmu pengetahuan
Cadaver memiliki kontribusi yang tak ternilai dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Dalam bidang penelitian medis, cadaver memungkinkan para ilmuwan untuk menguji prosedur bedah baru, mengembangkan alat-alat medis, dan memahami patofisiologi berbagai penyakit.
Dilansir dari artikel ilmiah Human cadaveric dissection: a historical account from Greece to the modern era yang ditulis Sanjib Kumar Ghosh dalam National Library of Medicine yang diterbitkan 22 September 2015, penggunaan cadaver untuk pembelajaran anatomi dimulai pada abad ke-3 SM di Yunani.
Praktik ini sempat dilarang di Eropa pada Abad Pertengahan karena alasan keagamaan, namun kembali dilakukan pada masa Renaisans abad ke-14 dengan izin terbatas dari otoritas agama.
Pada abad ke-15, pembedahan cadaver menjadi bagian dalam pembelajaran pendidikan kedokteran, dan semakin berkembang pada abad ke-16 dengan didirikannya teater anatomi.
Pada abad ke-18 mulai ditemukannya formalin untuk pengawetan cadaver. Akan tetapi, penggunaan formalin ini masih kurang efektif karena membuat jaringan kaku dan gelap.
Kemudian pada 1992, Walter Thiel mengembangkan teknik pengawetan yang lebih baik melalui injeksi intramuskular dan perendaman.
Namun dalam 50 tahun terakhir ini, penggunaan cadaver mulai berkurang karena keterbatasan jumlah, kurangnya ahli, serta kelemahan dalam hal tekstur dan warna sehingga mulai digantikan oleh media lain.
Pengadaan dan pengawetan cadaver
Proses pengadaan sampai dengan pengawetan cadaver diatur secara ketat oleh undang-undang dan etika medis.
Di beberapa negara, cadaver ada yang diperoleh melalui program donasi tubuh yang sah, yakni individu secara sukarela menyetujui untuk mendonasikan tubuh mereka setelah meninggal untuk keperluan pendidikan dan penelitian medis.
Akan tetapi, proses donasi tubuh untuk cadaver ini melibatkan persetujuan tertulis yang jelas dan prosedur hukum yang ketat.
Begitu pun dengan aturan hukum di Indonesia mengenai penggunaan cadaver telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Berikut bunyi peraturannya dalam BAB III mengenai Bedah Mayat Anatomis:
- Pasal 6
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan data bangsal anatomi suatu fakultas kedokteran. - Pasal 7
Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran di bawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai. - Pasal 8
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan.
Cadaver dalam dunia kedokteran selalu dipandang dan diperlakukan dengan hormat. Bahkan, proses pengawetan hingga pemanfaatannya tidak boleh sembarangan dilakukan.
Setelah cadaver diperoleh, tentunya cadaver harus segera diawetkan menggunakan berbagai teknik yang telah dikembangkan para ahli anatomi.
Salah satu metode yang paling umum dalam pengawetan cadaver adalah embalming atau pembalseman menggunakan formalin, yaitu larutan formaldehide yang bisa mencegah pembusukan dan mempertahankan tekstur jaringan.
Masih merujuk peraturan di atas, cadaver yang telah digunakan untuk keperluan pendidikan dan penelitian akan dipulangkan, kemudian pemulasaran dan pemakaman sesuai kepercayaan masing-masing.
Tahapan dekomposisi cadaver
Memahami proses dekomposisi cadaver sangat penting dan tidak hanya untuk ilmu forensik, tetapi juga untuk berbagai aspek penelitian medis dan antropologi.
Dekomposisi adalah proses alami yang terjadi setelah kematian, ketika tubuh mengalami serangkaian perubahan kimia dan biologis yang kompleks.
1. Tahap autolisis
Dimulai segera setelah jantung berhenti berdetak. Dalam 3-6 jam, tubuh mengalami rigor mortis (kaku mayat), suhu menurun, dan tidak ada sirkulasi oksigen.
Bakteri usus mulai menghancurkan dinding usus, dibantu enzim tubuh yang memecah sel dan jaringan (autolisis). Kerusakan internal belum tampak jelas secara visual, namun lecet kulit sudah mulai muncul sebagai tanda awal.
2. Tahap bloat (penggembungan)
Sekitar hari ke-3 hingga ke-5, bakteri menghasilkan gas (CO2, metana, dll) yang menyebabkan tubuh menggembung. Tekanan gas mendorong cairan keluar dari rongga tubuh dan menimbulkan kerusakan kulit. Bau busuk mulai tercium sebagai tanda pembusukan internal semakin berkembang.
3. Tahap active decay (peluruhan aktif)
Terjadi pada hari ke-8 hingga ke-10. Massa tubuh menyusut drastis karena cairan keluar dan jaringan kulit mulai dimakan serangga. Kondisi kulit menghitam dan mulai meluruh. Binatang pemakan bangkai juga mulai hadir. Tahap ini berakhir saat larva dan serangga sudah tidak lagi aktif pada tubuh.
4. Tahap advanced decay (peluruhan tahap lanjut)
Di tahap ini, jaringan lunak akan terlihat menyisakan komponen lebih keras seperti tulang, rambut, dan ligamen. Organ dalam akan mencair dan tubuh menghitam. Serangga pemakan jaringan keras seperti kumbang mulai hadir untuk mengurai sisa-sisa tubuh yang tersisa.
5. Tahap skeletonisation (pembusukan tulang)
Setelah hampir seluruh tubuh terurai, di tahap ini yang akan tersisa yaitu tulang kering. Tulang pun bisa hancur dalam waktu lebih dari dua tahun, tergantung kondisi lingkungan.
Apabila berada di kondisi kering dan panas, proses ini bisa selesai dalam hitungan minggu. Tahap ini juga penting untuk mendukung siklus alam dan keseimbangan ekosistem.
Ada banyak faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan dekomposisi ini, meliputi suhu lingkungan, kelembapan, akses oksigen, pH tanah, keberadaan serangga dan mikroorganisme, serta ukuran dan komposisi tubuh.
Penelitian tentang dekomposisi cadaver pun masih terus dikembangkan oleh para ilmuwan. Sehingga pengetahuan mengenai cadaver ini tidak hanya bermanfaat untuk forensik, tetapi juga untuk arkeologi, antropologi, hingga ilmu lingkungan dalam memahami siklus nutrisi dalam ekosistem.
(avd/fef)