Jakarta, CNN Indonesia --
Di tengah memuncaknya perang antara Iran dan Israel pekan lalu, muncul kembali sosok lama yang selama ini tinggal dalam bayangan sejarah.
Reza Pahlavi, putra Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi dan Permaisuri Farah Pahlavi, yang kini terang-terangan menjadi sekutu Israel dan musuh utama Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Reza Pahlavi secara terbuka mendukung serangan Israel dan Amerika Serikat terhadap tanah kelahirannya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baginya, agresi militer tersebut adalah cara untuk menggulingkan rezim Khamenei, yang ia sebut sebagai "penindas" rakyat Iran.
"Jika Khamenei jatuh, dia akan mendapat pengadilan yang adil, sesuatu yang tidak pernah ia berikan pada rakyat Iran," ujar Reza dalam sebuah konferensi pers.
Ia bahkan menyatakan kesiapan untuk kembali ke Iran dan "melanjutkan warisan ayahnya".
Saat ini, pria berusia 64 tahun tersebut menetap di Amerika Serikat bersama istri dan ketiga anak perempuannya. Ia hidup di pengasingan sejak keluarganya digulingkan melalui Revolusi Islam tahun 1979, saat usianya baru 17 tahun.
Melalui situs pribadinya, rezapahlavi.org, Reza menggambarkan kehidupannya sebagai pewaris tahta yang tak pernah mendapat kesempatan memimpin. Ia mengaku telah menjalani pelatihan jet tempur di Texas, AS, pada usia belasan tahun, sebelum keluarganya kabur dari Iran di awal 1979.
Pahlavi dan keluarganya kini tampil sebagai wajah baru dari oposisi luar negeri Iran. Ia sering menghadiri acara pro-demokrasi, menyampaikan pidato politik, dan tampil dalam media-media Barat sebagai suara "alternatif" untuk masa depan Iran.
Istrinya, Yasmine Etemad-Amini, aktif dalam berbagai kegiatan aktivisme dan kampanye hak asasi manusia. Keduanya dikaruniai tiga anak perempuan, Noor, Iman, dan Farah, yang dinyatakan sebagai ahli waris tahta versi mereka.
Reza Pahlavi juga tetap menjaga kedekatan dengan keluarganya, termasuk saudari tirinya Shahnaz, saudara perempuannya Farahnaz, dan saudara kandungnya Leila dan Ali-Reza.
Namun, yang membuat sosok Reza menjadi sorotan bukan hanya karena darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya, tapi juga karena kedekatannya yang bersimpati dengan Israel.
Dalam berbagai kesempatan, ia memuji langkah Israel menyerang Iran dan tak segan tampil berdampingan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Bahkan ketika serangan Israel ke Jalur Gaza menyebabkan ribuan korban sipil, Reza tidak menyatakan keprihatinan. Sebaliknya, ia membela Israel dan mengecam kelompok Hamas yang ia anggap sebagai biang konflik.
Dukungan ini bukan tanpa sejarah. Di masa pemerintahan ayahnya, Mohammad Reza Shah, Iran memang merupakan sekutu dekat Israel.
Keduanya bekerja sama di bidang pertanian, pengairan, hingga intelijen. Namun kerja sama itu dibangun di atas ketidakseimbangan sosial yang dalam.
Selama era Shah, modernisasi dijalankan melalui program "Revolusi Putih" yang disebut akan membawa kemajuan bagi Iran.
Namun kenyataannya, kebijakan tersebut justru memperparah ketidakseimbangan, meminggirkan rakyat kecil, dan memperkuat lingkaran elit istana serta kroni Barat.
Kini, Reza Pahlavi tampil bukan hanya sebagai simbol masa lalu yang gagal, tetapi juga sebagai figur yang dipertanyakan komitmennya terhadap rakyat Iran.
Meski menyuarakan demokrasi, kedekatannya dengan kekuatan asing dan penolakannya terhadap penderitaan warga sipil menimbulkan kritik dari berbagai kalangan.
(zdm/dna)