Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Prabowo Subianto menyebutkan selama masa penjajahan di tanah air, Belanda telah mengambil kekayaan Indonesia senilai US$31 triliun atau setara Rp504.000 triliun.
Nilai yang sangat fantastis, yang disebutnya setara dengan 140 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia saat ini.
Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo saat membuka Indo Defence Expo & Forum 2025 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ratusan tahun kita diduduki bangsa-bangsa lain. Rakyat kita, budaya kita, politik kita dihancurkan. Kita menjadi milik bangsa lain dan kekayaan kita diambil," ujar Prabowo di hadapan peserta forum.
Lalu dari sumber daya apa saja Belanda mengambil kekayaan nusantara?
Literatur sejarah sebagian besar menyebut dari rempah dan komoditas perkebunan. Saat kongsi dagang Belanda alias VOC berdiri, maka rempah seperti cengkeh dan pala yang menjadi primadona. Rempah membuat banyak pengusaha Belanda kaya raya.
Disebutkan, saat kapal-kapal VOC pembawa rempah tiba di Amsterdam, harganya meningkat 320 kali lipat dari harga pembeliannya di Pulau Banda di Maluku.
Seorang laksamana Belanda bernama Jacob van Neck, saat kembali ke Amsterdam pada Juli 1599, membawa empat kapal yang berisi komoditas dari Banten, dengan bangga mengatakan bahwa komoditasnya dari Indonesia yang berharga mahal didapat dengan cara sah tanpa kekejaman. Meski fakta mengatakan sebaliknya.
Namun VOC kemudian bangkrut pada 1799 karena korupsi akut para pengurusnya. Kebangkrutan perusahaan dagang ini tidak membuat Belanda kehilangan penghasilan, justru pundi-pundi mereka makin tebal setelah diberlakukakan sistem tanam paksa atau Cultursteeelsel.
Kebijakan ini diambil setelah Belanda banyak tekor karena peperangan, terutama pascaperang Jawa 1825-1830. Menurut Peter Carey dalam bukunya, "Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855", perang Jawa telah menguras anggaran Belanda sebanyak 25 juta Gulden.
Pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan penduduk desa untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila (tarum) dalam proporsi tertentu (biasanya 20%) dari lahan pertanian mereka.
Sistem ini mulai diterapkan pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch dan berlangsung hingga tahun 1870. Dari tanam paksa ini, Belanda mendapat keuntungan sebesar 832 juta Gulden. Bahkan pada 1850, tanam paksa ini sudah menyumbang 52% pendapatan pajak Belanda dan sekitar 4% produk domestik bruto.
Selama masa tanam paksa inilah berbagai komoditas yang laku di pasaran dunia digenjot sehingga banyak pabrik berdiri, jalur kereta dibuat semata-mata untuk mengakomodasi hasil perkebunan.
Bahkan, wilayah Sumatera pun dijadikan ajang tukar wilayah bersama Inggris lewat perjanjian London pada 17 Maret 1824. Dalam perjanjian ini, Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda berikut perusahaan Hindia Timur kepada Belanda.
Sementara Belanda selain tidak akan mengikat perjanjian dagang dengan pihak lain juga tidak akan memonopoli perdagangan di Nusantara.
Pada 2015, periset Frans Buelens (University of Antwerp) dan Ewout Frankema (Wageningen University & Research) menyimpulkan bahwa investasi di Hindia Belanda alias Indonesia tahun 1919-1938 sangat menguntungkan Belanda hingga 2,5 kali.
Riset yang diberi judul "Colonial Exploitation and Economic Development" ini membandingkan ekonomi Indonesia di bawah Belanda dan Kongo saat dikuasi Belgia.
Disebutkan kebijakan tanam paksa sebagai kebijakan fiskal jenius yang mendongkrak keuangan Belanda dan melahirkan sejumlah pengusaha perkebunan. Salah satu keberhasilannya adalah para tenaga kerja yang mau dibayar murah.
(imf/bac)