Anak Terseret 'Drama' Orang Tua, Psikolog Peringatkan Dampaknya

5 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Dua kasus penculikan anak baru-baru ini ternyata manifestasi konflik kedua orang tua mereka. Anak selalu jadi korban. Psikolog pun memperingatkan dampak konflik orang tua terhadap kondisi mental anak.

Seorang anak perempuan yang hilang di Cinere, Depok, baru-baru ini bikin publik geger. Seolah mengulang mimpi buruk tentang maraknya penculikan anak, masyarakat dibuat cemas dan bersimpati.

Akan tetapi, alih-alih penculikan oleh orang tak dikenal, kasus ini justru dibuat-buat oleh sang ibu, Arlin. Arlin merekayasa peristiwa tersebut demi mempertemukan sang anak, Adella, dengan ayah kandungnya yang telah lama berpisah darinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum reda rasa terkejut masyarakat, kabar serupa datang dari Bali. Seorang bocah laki-laki asal Inggris, Georgie (8), dilaporkan hilang di depan rumahnya di Denpasar Selatan.

Dugaan awal, Georgie diculik. Namun investigasi polisi membuktikan sebaliknya. Georgie dibawa ayah kandungnya, BJWB, ke Tangerang Selatan tanpa sepengetahuan sang ibu yang sudah bercerai dengannya.

Dua peristiwa ini menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Anak-anak terseret dalam pusaran konflik orang dewasa. Bukan hanya sekadar menjadi 'objek' perebutan, anak-anak ini ikut memikul beban emosional yang tak semestinya mereka tanggung.

Psikolog klinis dari Tabula, Arnold Lukito mengatakan dalam berbagai peristiwa konflik keluarga memang anak-anak yang selalu menjadi korban. Dari luar, mereka bisa terlihat baik-baik saja, tapi ada luka tersembunyi yang dipikul anak-anak ini.

"Anak-anak yang menjadi 'korban tersembunyi' dalam konflik keluarga seperti ini sangat mungkin mengalami emotional insecurity, atau rasa tidak aman secara emosional. Bayangkan, orang yang seharusnya melindungi mereka justru memanipulasi atau memperalat mereka," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/4).

Lebih lanjut, Arnold menjelaskan dampak psikologis yang ditimbulkan tidak hanya bersifat sementara. Mereka bisa mengalami loyalty conflict, yakni merasa terpaksa harus memilih antara ayah atau ibu.

"Itu bukan pilihan yang sehat untuk anak usia 8 atau 10 tahun. Mereka bisa tumbuh dengan rasa bersalah yang terus membebani," kata dia.

Meninggalkan luka psikologis seumur hidup

Menurut Arnold, apa yang dialami Adella maupun Georgie bisa dianalisis melalui teori attachment dari John Bowlby. Teori ini menekankan pentingnya hubungan yang stabil dan aman antara anak dan orang tua sebagai fondasi perkembangan emosional.

Ketika hubungan itu terganggu oleh konflik atau perebutan hak asuh, luka batin bisa terbentuk dan menetap. Menurutnya, keterlibatan anak dalam konflik orang tua dapat meninggalkan luka psikologis seumur hidup, terutama jika tidak ditangani dengan baik.

Anak sangat sensitif dan mudah menangis? Kenali tanda-tanda dan cara tepat menghadapinya, Bunda!Ilustrasi. Arnold menyebut anak yang terseret konflik orang tuanya bisa meninggalkan luka psikologis seumur hidup. (Kinan)

"Kalau hubungan ini rusak, bukan cuma rasa aman yang hilang. Anak bisa tumbuh dengan trust issues, jadi sulit percaya pada orang lain, termasuk dalam hubungan sosial maupun romantik di masa depan," ujar Arnold.

Meski begitu, Arnold menegaskan bahwa pendapatnya ini bukanlah diagnosa klinis, melainkan refleksi dari teori psikologi dan analisis atas pemberitaan media. Ia juga mengingatkan bahwa masih ada jalan untuk memulihkan luka-luka tersebut.

"Pemulihan bisa dilakukan lewat konseling, baik individual untuk anak maupun keluarga. Mediasi juga penting jika memungkinkan. Intinya, kita perlu bantu anak membangun ulang rasa aman, kepercayaan, dan kemampuan mengelola emosi," jelasnya.

[Gambas:Video CNN]

(tis/els)

Read Entire Article
Korea International