Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang siswa SMA Walter Kusuma memaparkan masalah utama pengelolaan sampah di Jakarta bukan terletak pada minimnya infrastruktur atau teknologi, melainkan pada ketidaktahuan publik akan pentingnya memilah sampah.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Jakarta Student Symposium (JSS) 2025 yang digelar di Soehanna Hall, Jakarta, Rabu (28/5).
Dalam kesempatan itu,hadir 11 siswa untuk mempresentasikan ide dan aksi nyata yang membawa perubahan bagi bumi. Salah satunya meneliti sistem pengelolaan sampah oleh Walter Kusuma berjudul 'After the Bin'
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jakarta Student Symposium merupakan koalisi nirlaba independen yang menjadi wadah bagi para generasi muda dengan mimpi yang besar untuk melakukan sesuatu dan memimpin generasinya dalam menciptakan kesadaran terhadap topik-topik yang paling relevan dan menjadi perhatian dunia saat ini.
"Saya rasa isu lingkungan adalah bagian yang paling berbahaya karena dampaknya bisa dirasakan seluruh komunitas," kata Walter.
Walter mengaku sudah melakukan observasi dan wawancara dengan para pelaku industri daur ulang, perusahaan pengelola sampah, hingga warga di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang.
Hasilnya, Walter menyimpulkan bahwa salah satu akar masalah ada pada perilaku produsen sampah, baik individu maupun pelaku usaha, yang tidak memilah sampah sejak awal.
"50 persen dari total biaya operasional perusahaannya hanya untuk memproses sampah," kata Walter mengutip hasil wawancaranya dengan CEO Jangjo Joe Hansen, perusahaan pengelola sampah yang berbasis di Jakarta.
"Dan setengah dari biaya itu berasal dari biaya tenaga kerja untuk memilah sampah," tambahnya.
Menurut Walter, jika produsen sampah meluangkan waktu beberapa detik untuk memisahkan kemasan plastik dari kardus, atau kertas dari sisa makanan, maka efisiensi bisa meningkat drastis.
"Biaya operasional sebesar 20 hingga 25 persen itu bisa dihilangkan," ujarnya.
Temuan ini mendorong Walter untuk menekankan perlunya perubahan paradigma dengan edukasi publik mengenai sistem pemilahan sampah yang benar dan menyeluruh.
Ia mengkritisi anggapan umum bahwa memilah sampah hanya berarti memisahkannya menjadi tiga kategori, yakni organik, non-organik, dan daur ulang.
"Sistem pemilahan yang menyeluruh seharusnya mencakup lebih dari itu, selain kategori umum seperti organik, kertas, plastik, dan logam, kita juga perlu memilah sampah elektronik (e-waste), sampah medis/berbahaya (biohazardous waste), dan yang paling penting residu," jelasnya.
Residu, menurut Walter, adalah barang yang seharusnya bisa didaur ulang tetapi menjadi tercemar oleh unsur lain. Contohnya, kotak pizza yang terkena minyak atau wadah makanan plastik yang masih mengandung sisa makanan.
"Ini karena residu merupakan campuran dari dua atau lebih kategori," ucapnya.
Alih-alih menuntut pembangunan infrastruktur baru atau kebijakan rumit, Walter menggarisbawahi bahwa perubahan paling krusial justru bisa dimulai dari tindakan sehari-hari.
"Satu perubahan kecil ini bisa memicu perubahan yang lebih besar secara keseluruhan dan membantu mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan di Jakarta," katanya.
Tak berhenti di situ, Walter tengah menyiapkan program percontohan di beberapa mal milik ASRI, tempat ia akan mencoba menerapkan edukasi langsung kepada konsumen tentang pemilahan sampah yang benar.
"Saya akan bekerja sama dengan ASRI untuk menerapkan hasil riset ini dan mengusulkan implementasi perubahan di berbagai mal ASRI di Jakarta. Setelah proyek percontohan itu selesai," katanya.
Ia juga berencana mempresentasikan hasil kerja saya kepada Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan juga kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Bagi Walter, proyek ini bukan sekadar penelitian ilmiah, melainkan misi pribadi yang berangkat dari pengalaman langsungnya melihat realitas di Bantar Gebang.
"Saya melihat bagaimana kehidupan banyak orang di sana. Menyadari ada ribuan orang yang hidup dari Bantar Gebang, saya merasa sangat terinspirasi untuk benar-benar melakukan sesuatu," tuturnya.
Meski masih duduk di bangku sekolah, Walter menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari siapapun. Bukan dari anggaran miliaran rupiah atau teknologi canggih, tetapi dari pemahaman mendalam dan kesadaran akan dampak setiap tindakan kecil.
"Memilah sampah itu benar-benar berdampak. Walaupun kelihatannya sepele, kalau semua orang dalam satu komunitas memilah sampah mereka dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan pengelola sampah dan para pemangku kepentingan lainnya, dampaknya bisa sangat besar, terutama dari sisi ekonomi dan keberlanjutan finansial upaya-upaya tersebut," pungkasnya.
(sur/kay/sur)