Said Abdullah Dorong Pemerintah Tempuh Jalur Diplomasi Hadapi Tarif AS

4 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat langkah diplomasi dan strategi perdagangan guna merespons kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk-produk asal Indonesia.

Melalui surat resminya kepada Presiden Prabowo Subianto, Presiden Trump menyatakan akan tetap memberlakukan tarif sebesar 32 persen atas barang-barang Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini akan efektif berlaku mulai 1 Agustus 2025, melanjutkan keputusan yang sebelumnya diumumkan pada April lalu.

"Dari tenggat waktu yang tersedia, tidak ada pilihan bagi pemerintah agar tetap menempuh jalan negosiasi kembali dengan Pemerintah AS," kata Said dalam keterangannya dikutip Rabu (9/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menilai, dalam perundingan mendatang, pemerintah Indonesia harus hadir dengan tawaran yang lebih konkret. Salah satunya, membuka peluang agar perusahaan Indonesia bisa melakukan aktivitas manufaktur di Amerika Serikat.

Langkah ini, kata Said, bisa membantu meredakan kekhawatiran AS terkait defisit perdagangan mereka dengan Indonesia.

"Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dollar AS atau sekitar Rp 104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dollar AS)," ujarnya.

Di kawasan Asia, Indonesia menghadapi tarif yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan hanya dikenakan tarif 24 persen, sementara Thailand bahkan lebih tinggi, yakni 36 persen.

Presiden Trump berdalih, tidak adanya perusahaan asal Indonesia yang beroperasi di sektor manufaktur di AS menjadi salah satu alasan pemberlakuan tarif tinggi tersebut.

Meski begitu, Said menegaskan pentingnya tetap menjaga hubungan dengan AS, yang merupakan salah satu pasar utama bagi produk-produk ekspor Indonesia seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, peralatan listrik, karet, produk perikanan, dan hasil pertanian.

Namun ia juga mengingatkan agar pemerintah segera menyiapkan langkah antisipasi jika negosiasi tidak membuahkan hasil.

"Pemerintah harus sesegera mungkin mengupayakan pasar pengganti terhadap beberapa barang ekspor ke AS yang tidak layak dari sisi harga paska pengenaan tarif. Pasar seperti BRICS, Eropa, kawasan Amerika Latin serta Afrika patut untuk didalami," ujarnya.

Tak hanya itu, Said mengajak pemerintah untuk memperkuat jalur penyelesaian multilateral di tengah gelombang proteksionisme global. Menurutnya, bukan hanya Indonesia yang tengah menghadapi sanksi dagang dari AS, melainkan juga banyak negara lain, termasuk sekutu-sekutu dekat Washington di Eropa Barat.

"Pemerintah bisa menggalang negara negara tersebut untuk memperkuat kedudukan World Trade Organization (WTO) sebagai kelembagaan yang sah dan adil untuk masalah perdagangan internasional," ujarnya.

Ia menambahkan, melalui forum-forum seperti WTO atau bahkan G20, minus Amerika Serikat, Indonesia bisa mendorong lahirnya komitmen baru antarnegara yang memberi ruang bagi produk-produk ekspor yang terkena dampak tarif tinggi AS untuk tetap mendapatkan akses pasar di negara lain.

"Tujuannya mendapatkan pasar baru atas produk produk antar negara yang tidak dapat masuk ke AS karena pengenaan tarif tinggi. Dengan demikian, semua negara tidak perlu khawatir sebab produk mereka mendapatkan pasar pengganti," katanya.

Sementara di dalam negeri, kata dia, pemerintah harus memperkuat ketahanan terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter. Sebab ketiga sektor tersebut banyak di topang dari aktivitas impor, dan pengaruh eksternal.

"Pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi, serta menempuh berbagai pembayaran internasional dengan tidak hanya bertumpu pada Dolar AS," ujarnya.

(inh)

Read Entire Article
Korea International