Jakarta, CNN Indonesia --
Sebanyak 11 siswa SMA mempresentasikan ide dan aksi nyata yang membawa perubahan bagi bumi dalam Jakarta Scholar Symposium (JSS) di Jakarta, Rabu (28/5).
JSS merupakan koalisi nirlaba yang independen dan didedikasikan sebagai wadah bagi para generasi muda yang memiliki mimpi untuk melakukan sesuatu dan memimpin generasinya dalam menciptakan kesadaran terhadap topik-topik paling relevan dan menjadi perhatian dunia saat ini.
Salah satu peserta, Walter Kusuma mempresentasikan soal pengelolaan sampah yang berjudul 'After the Bin'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam paparannya, Walter menilai ada ketidakefisienan alur daur ulang sampah selama ini. Menurutnya sistem yang saat ini berjalan tidak hanya berbelit-belit, tetapi juga tak masuk akal secara ekonomi.
"Aliran sampah di Jakarta berasal dari berbagai tempat seperti mal, hotel, dan perkantoran. Jadi pertama-tama, tentu saja ada produsen sampah itu sendiri. Konsumen berperan sebagai awal sekaligus akhir dari rantai ini," kata Walter.
Walter memetakan rantai alur pengelolaan sampah dari produsen hingga perusahaan daur ulang, yang melibatkan terlalu banyak perantara, mulai dari perusahaan pengelola sampah, pemulung, pengepul, hingga ke industri daur ulang. Akibatnya, nilai ekonomis sampah menjadi sangat rendah.
"Tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terlalu banyak perantara dari konsumen hingga ke perusahaan daur ulang, sehingga nilai ekonomis dari sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan," ujar Walter.
Menurutnya, situasi ini berdampak langsung pada sulitnya sektor pengelolaan sampah untuk bertahan hidup. Bahkan, banyak pelaku usaha yang kini hanya bisa beroperasi karena sokongan investor yang ingin menciptakan perubahan.
Selain itu akar masalah pengolahan sampah menurut Walter juga terletak pada minimnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah sejak awal. Ia menyebut bahwa sebagian besar rumah tangga dan pelaku usaha di Jakarta masih mencampur semua jenis sampah dalam satu wadah.
"Dalam wawancara saya dengan Joe Hansen, pendiri dan CEO dari Jangjo, ia memperkirakan bahwa 50% dari total biaya operasional perusahaannya hanya untuk memproses sampah. Dan setengah dari biaya itu berasal dari biaya tenaga kerja untuk memilah sampah," jelasnya.
Walter menekankan bahwa jika produsen sampah di Jakarta bersedia meluangkan beberapa detik untuk memilah antara kertas, plastik, kardus, dan lainnya, maka biaya operasional bisa ditekan hingga 20-25%. Dengan berkurangnya beban tersebut, sistem daur ulang akan menjadi lebih efisien dan berkelanjutan.
"Perubahan ini memungkinkan jasa pengelolaan sampah, pemulung, dan perusahaan daur ulang untuk tumbuh secara berkelanjutan. Dan seiring berkembangnya industri ini, minat dan investasi pun akan mengalir secara alami," tambahnya.
Ia juga mengkritik konsep pemilahan sampah yang selama ini dikenal masyarakat. Menurutnya, sistem tiga tempat sampah, yakni organik, non-organik, dan daur ulang, tidak cukup. Ia menyarankan penambahan kategori seperti sampah elektronik (e-waste), medis/berbahaya (biohazardous), dan residu.
Seorang peserta Jakarta Scholar Symposium (JSS) mempresentasikan soal pengolahan sampah, Rabu (28/5). CNN Indonesia/Kayla
"Kategori residu ini mendominasi sebagian besar sampah di mal. Barang-barang seperti kotak pizza atau wadah makanan yang secara teknis bisa didaur ulang, menjadi tidak bisa diolah lagi karena tercemar minyak atau sisa makanan," ungkapnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, Walter mengungkapkan rencananya untuk bekerja sama dengan ASRI, salah satu pengelola pusat perbelanjaan di Jakarta, guna menerapkan sistem pemilahan yang lebih baik sebagai proyek percontohan selama musim panas ini.
"Setelah proyek percontohan itu selesai, saya berencana mempresentasikan hasil kerja saya kepada Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan juga kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta, agar perubahan bisa dilakukan dari tingkat tertinggi," tutupnya.
Sebagai bentuk kampanye kecil namun simbolis, Walter mengajak seluruh peserta presentasi untuk ikut memilah sampah botol plastik ke dalam tiga tempat sampah yang telah ia siapkan di luar ruangan.
Walter menegaskan satu pesan penting, yakni sistem pengelolaan sampah yang efisien hanya bisa terjadi jika perubahan dilakukan dari hulu, dimulai dari perilaku produsen sampah sendiri.
(kay/sur)