Review Film: Tha Rae - The Exorcist

2 hours ago 1

img-title Endro Priherdityo

Formula yang sudah dibuat dalam Tha Rae: The Exorcist masih sangat bisa disempurnakan lagi.

Jakarta, CNN Indonesia --

Satu hal yang saya apresiasi setelah menyaksikan Tha Rae: The Exorcist adalah bagaimana Thailand sangat setia dengan kebudayaannya, ditambah masyarakat dan pemerintahnya kompak akan hal tersebut.

Kekaguman saya itu muncul setelah Taweewat Wantha selaku sutradara sekaligus salah satu penulis, bersama Buddhiporn Bussabarati dan Worawit Chaiwongkhod, memilih untuk mengawinkan budaya lokal dalam cerita eksorsisme Katolik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film eksorsisme Katolik sudah memiliki pola yang sangat umum dengan mengikuti 'panutan' mereka, yakni The Exorcist (1973). Hal serupa juga berlaku untuk Tha Rae: The Exorcist yang merupakan film eksorsisme Katolik pertama di Thailand.

Pola cerita film eksorsisme Katolik tak pernah jauh berbeda dari yang sudah ada, mulai dari teror muncul hingga berbagai upaya pengusiran dan bagaimana kekuatan ilahi akan menang atas kuasa gelap. Narasinya hampir selalu begitu.

Namun Taweewat dan tim penulis memilih berusaha melakukan pendekatan yang agak berbeda, yakni memasukkan unsur eksorsisme lokal dalam konstruksi cerita yang sudah dikenal secara global.

Bukan hanya eksorsisme lokal, tetapi Taweewat juga menunjukkan keberagaman sosial yang ada di masyarakat Thailand, seperti eksistensi generasi digital di sana hingga 'chemistry' antar aktor utama yang tak biasanya ada di film horor berlatar agama.

 The ExorcistReview Tha Rae: The Exorcist:Bukan hanya eksorsisme lokal, tetapi Taweewat juga menunjukkan keberagaman sosial yang ada di masyarakat Thailand: (dok. Saha Mongkul Film Production via YouTube)

Mungkin Taweewat sadar bahwa cerita eksorsisme Katolik sudah dikisahkan oleh begitu banyak judul selama beberapa dekade terakhir, dengan kebanyakan memiliki pola serupa.

Film soal pengusiran setan dengan menggunakan pendekatan agama dan kepercayaan lokal dalam film horor juga sebenarnya sudah banyak. Ratusan film akulturasi pengusiran setan antara agama dengan budaya juga sudah ada di Indonesia, meski hingga saat ini cuma datang dari sudut kepercayaan dan budaya tertentu.

Namun untuk perihal cerita eksorsisme ala Katolik, kisah akulturasi dengan budaya lokal masih jadi produk yang langka. Salah satu yang saya ingat adalah The Curse of La Llorona (2019) yang memadukan eksorsisme Katolik dengan folklor masyarakat Meksiko.

Film dengan konsep tersebut makin langka untuk wilayah Asia Tenggara. Indonesia baru punya satu film eksorsisme Katolik, yakni Kuasa Gelap (2024), yang kemudian Thailand ikutan setahun setelahnya.

Beda halnya dengan Filipina yang sudah ramai film soal eksorsisme sejak puluhan tahun silam, salah satunya Sanib (2003). Namun hal ini bisa dipahami mengingat Filipina adalah negara dengan penganut Katolik terbanyak di Asia Tenggara, bahkan ketiga terbesar di dunia.

Hanya selisih setahun, saya melihat ada kemiripan unsur cerita antara Tha Rae: The Exorcist dari Thailand dengan Kuasa Gelap (2024) dari Indonesia. Kesamaan itu adalah Tha Rae: The Exorcist (2025) dan Kuasa Gelap (2024) memilih untuk memberikan durasi serta porsi cerita yang cukup dalam mengenalkan dua karakter utama mereka.

 The ExorcistReview film: Tha Rae The Exorcist memiliki alur cerita yang berbelit-belit dan bertele-tele.: (dok. Saha Mongkul Film Production via YouTube)

Bila dalam review Kuasa Gelap (2024) saya menyinggung tim penulis sangat loyal dalam memberikan porsi latar kehidupan tokoh utamannya, Taweewat dan tim penulis juga memiliki keinginan yang sama.

Namun karena Tha Rae: The Exorcist memiliki dua karakter utama pria yang sama-sama kuat, maka Taweewat dan tim penulis harus memutar otak dalam membaginya secara adil sehingga tidak terasa berat pada satu karakter.

Belum lagi niat luhur Taweewat dan tim penulis untuk menampilkan budaya lokal, yang kemudian membuat manajerial slot durasi dan plot menjadi krusial.

Sayangnya Taweerat dan tim agak keteteran dalam hal tersebut. Hingga akhirnya, Tha Rae: The Exorcist memiliki alur cerita yang berbelit-belit dan bertele-tele.

Meskipun strategi jumpscare yang diberikan Taweewat cukup menghibur, tapi rasa bosan tak bisa terhindarkan. Apalagi penonton baru bisa sepenuhnya memahami masalah ketika sudah memasuki sepertiga terakhir film.

Hal itu belum termasuk dengan cultural gap yang saya alami saat memahami masalah yang dihadapi para pengusir setan dalam film ini. Unsur lokal yang mencakup jenis demon di luar yang biasa dikenal dalam film eksorsisme Barat, cukup membuat otak saya butuh waktu untuk mencerna.

[Gambas:Video CNN]

Catatan lainnya dari Tha Rae: The Exorcist adalah soal penempatan iklan. Walaupun saya paham iklan untuk film itu penting dan Taweewat juga sudah menempatkannya sehalus mungkin, tetap saja terasa ganjil dan terbilang sangat "ngiklan". Bila film ini adalah tayangan podcast di YouTube, sudah pasti saya berkali-kali ketuk bagian kanan layar untuk meloncati iklan tersebut.

Meski Tha Rae: The Exorcist memiliki sederet catatan dan terbilang jauh dari kata sempurna, saya justru mendukung upaya Taweewat Wantha yang tampak mempersiapkan film ini untuk memiliki sekuel dan turunannya.

Formula yang sudah dibuat oleh Taweewat dan tim dalam Tha Rae: The Exorcist masih sangat bisa disempurnakan lagi karena punya keunikan yang mungkin bisa mendatangkan kesuksesan di masa depan.

Dengan begitu, saya bisa berharap bahwa pasar film horor di Asia Tenggara di kemudian hari akan semakin riuh dan beragam, dalam merayakan kekayaan folklor masyarakat di kawasan yang berlimpah budaya ini.

[Gambas:Youtube]

(end)

Read Entire Article
Korea International