Jakarta, CNN Indonesia --
Teknologi kecerdasan buatan (AI) hadir bak gelombang tsunami yang menerjang tiba-tiba. Sebagian besar orang gagap menghadapinya, baik dengan manfaat atau risiko di belakangnya.
Masalahnya, tren adopsi AI tak cuma menyasar remaja hingga orang dewasa. Nyatanya, anak-anak di bawah umur ikut terpapar adopsi AI, khususnya generative AI yang kian mudah diakses.
Bak pisau bermata dua, orang tua menghadapi dilema jika berurusan dengan AI. Di satu sisi, anak-anak harus belajar mengenalnya agar tidak kagok dengan teknologi yang kian mutakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di sisi berlawanan, dampak buruk penggunaan AI juga mengintai dan mengancam tumbuh kembang anak-anak.
Laporan UNICEF berjudul Generative AI: Risks and opportunities for children, mengungkap teknologi Generative AI atau GenAI yang menghadirkan chatbot bernada manusia dapat menghilangkan batas antara benda hidup dan benda mati, yang berdampak pada perkembangan anak.
Penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut dapat memengaruhi persepsi dan atribusi anak terhadap kecerdasan, perkembangan kognitif, dan perilaku sosial mereka, terutama pada tahap perkembangan yang berbeda.
Singkatnya, dampak negatif AI terhadap anak bisa datang dari berbagai aspek, mulai dari yang berkaitan dengan keselamatan dan tumbuh kembang mereka, hingga yang berkaitan dengan data pribadi.
Lantas, apa yang harus dilakukan orang tua menghadapi dilema mengenai AI?
Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) menyebut ada pekerjaan rumah yang yang harus dikerjakan pemerintah, orang tua, dan guru untuk mengawal adopsi Generatif AI (GenAI) oleh anak-anak, yakni literasi AI.
"Dengan semakin mudah dan menariknya penggunaan GenAI saat ini, peran orang tua dan guru menjadi sangat penting dalam membimbing anak untuk menyikapi GenAI. Sehingga literasi AI jadi sangat urgent untuk disebarkan ke guru-guru dan orang tua," ujar Ayu Purwarianti Wakil Ketua 1 KORIKA kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/7).
Kebutuhan literasi AI untuk orang tua dan guru ini, kata Ayu, juga menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pemerintah disebut perlu menggiatkan literasi AI sebanyak-banyak untuk masyarakat, khususnya terkait etika AI.
Ayu mengatakan literasi AI untuk anak menitikberatkan pada etika AI. Namun, sebelum masuk ke etika AI, anak perlu memiliki fondasi karakter yang kuat seperti tanggung jawab, disiplin, empati, dan jujur.
Tak hanya mendorong literasi AI, Ayu juga mendorong platform GenAI menghadirkan sistem pengamanan yang dapat memberikan pengalaman penggunaan yang aman untuk anak.
Sistem pengamanan ini, katanya, perlu dibuat dengan menyesuaikan nilai-nilai Indonesia.
"GenAI seharusnya memenuhi prinsip responsible AI, termasuk di dalamnya aspek transparansi, terutama dari data yang digunakan sebagai data latih. Selain itu, perlu ada pengujian yang masif, yang sesuai dengan nilai-nilai di Indonesia," katanya.
Lebih lanjut, Ayu mengatakan anak memiliki beberapa risiko ketika berinteraksi atau menggunakan platform GenAI. Risiko ini di antaranya ketergantungan terhadap tools, menurunnya daya kognitif, paparan pornografi, konten atau instruksi membahayakan, hingga nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Menurutnya, sistem yang dihadirkan oleh platform GenAI saat ini belum bisa memenuhi aspek keamanan pada 5 poin tersebut.
Tanggung jawab orang tua
Salah satu tanggung jawab utama orang tua saat ini adalah mendorong literasi AI pada anak-anak mereka. Ketika AI mulai digunakan di berbagai disiplin ilmu, siswa tidak hanya harus mengembangkan kemahiran teknis, tetapi juga pemikiran kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah.
Kekhawatiran yang muncul adalah atrofi kognitif-sebuah istilah yang mendapatkan perhatian dalam diskusi pendidikan. Dampak AI Generatif terhadap critical thinking menyoroti bahwa ketika akal imitasi mengambil lebih banyak tugas kognitif, anak berisiko kehilangan kemampuan mereka untuk menganalisis dan mensintesis informasi secara kritis secara mandiri.
The Pennsylvania State University, dalam laman resminya, mengungkap ada sejumlah hal yang bisa dilakukan orang tua dalam menghadapi gempuran AI untuk anak-anak.
Pertama, ikut penasaran dengan teknologi AI terbaru. Orang tua dapat bertanya kepada anak-anak tentang aplikasi favorit mereka dan bagaimana mereka menggunakannya.
Kedua, tetapkan batasan yang sehat. Seperti halnya memberi waktu khusus untuk tidur atau membatasi junk food, orang tua juga bisa menerapkan batasan seputar bermain gadget atau penggunaan AI.
Ketiga, ajari berpikir kritis. Orang tua perlu membantu anak-anak memahami bahwa tidak semua yang disajikan AI itu benar atau bermanfaat.
Orang tua juga perlu mengajari mereka untuk mempertanyakan apa yang mereka lihat dan berpikir kritis tentang mengapa video, iklan, atau postingan tertentu direkomendasikan di feed media sosial mereka atau platform lainnya.
Keempat, terus memantau perubahan emosional anak. Orang tua juga perlu memerhatikan suasana hati anak setelah mereka online.
Jika mereka terlihat cemas, mudah tersinggung, atau menyendiri, konten yang digerakkan oleh AI mungkin berperan. Doronglah percakapan terbuka dan ciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk berbagi perasaan.
Kelima, mendorong penggunaan AI yang lebih aman. Sejumlah peneliti menekankan penerapan kebijakan dan perlindungan yang lebih baik untuk anak-anak yang menggunakan platform bertenaga AI.
"Lakukan yang terbaik untuk tetap mendapatkan informasi dan gunakan kontrol orang tua jika memungkinkan," demikian keterangan dalam laman resmi PennState University.
(lom/dmi)