Poin-poin Penting RKUHAP yang Lagi Dibahas di DPR

5 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi III DPR bersama pemerintah secara resmi telah mulai membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sejak Selasa (8/7).

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan pembahasan akan dilakukan secara maraton hingga akhir masa sidang pada 23 Juli mendatang. Ia menegaskan seluruh rapat akan dilakukan terbuka di ruang Komisi III DPR, bukan di hotel, agar dapat diakses publik.

Pada Kamis (10/7) lalu, Komisi III DPR  bersama pemerintah secara resmi merampungkan pembahasan daftar inventarisir masalah (DIM) RKUHAP. Sebanyak 1.676 DIM rampung dibahas hanya dalam waktu dua hari sejak Rabu (9/7). Dari jumlah itu, sebanyak 1.091 DIM bersifat tetap dan 295 DIM redaksional.

Kemudian, Habib yang juga Ketua Panja RKUHAP menjelaskan dari total 1.676 DIM, ada 68 DIM yang diubah, 91 DIM dihapus, dan 131 DIM dengan substansi baru. Usai rampung pembahasan DIM, pembahasan RKUHAP selanjutnya akan masuk pada tahap sinkronisasi.

Pihaknya menargetkan RKUHAP bisa disahkan pada tingkat satu atau pleno pada pekan depan sebelum kemudian dibawa ke Paripurna untuk menjadi undang-undang. 

Namun, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai kilat di DPR. Dalam hal isi RKUHAP tersebut, Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pihaknya menyoroti beberapa di antaranya bakal aturan yang mengatur soal penangkapan, penyitaan, penggeledahan, penyadapan hingga pemblokiran internet.

Menurutnya itu semua dibahas tanpa melibatkan partisipasi publik.

Dan, berikut rangkuman poin-poin penting dalam pembahasan RKUHAP yang telah disepakati pemerintah dan DPR sejauh ini:

310 Substansi Perubahan

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy), menyebut RKUHAP memuat 10 substansi perubahan utama.

Perubahan ini bertujuan memperkuat hak tersangka, terdakwa, saksi, hingga korban.

"Serta mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu yang memperkuat fungsi tugas dan wewenang aparat penegak hukum yang selaras dengan perkembangan ketatanegaraan dan kemajuan informasi teknologi," kata Eddy dalam rapat perdana pembahasan RKUHAP di Komisi III DPR, Selasa lalu.

10 substansi perubahan itu mencakup:

• Penyesuaian dengan nilai-nilai KUHP baru (restoratif, rehabilitatif, restitutif).
• Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
• Penguatan peran advokat dalam peradilan pidana.
• Perlindungan untuk perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
• Perbaikan mekanisme upaya paksa yang lebih akuntabel dan berprinsip HAM.
• Pengaturan upaya hukum secara komprehensif.
• Penguatan asas hukum acara pidana berbasis HAM.
• Penyesuaian dengan konvensi internasional dan regulasi HAM.
• Modernisasi hukum acara (cepat, sederhana, transparan, akuntabel).
• Revitalisasi hubungan penyidik dan penuntut umum.

Siaran Langsung di Persidangan

Komisi III DPR dan pemerintah sepakat menghapus pasal larangan publikasi langsung proses persidangan yang sempat tercantum dalam Pasal 253 ayat (3) dan (4) draf RKUHAP.

"Teman-teman Pak Wamen, kita juga menerima kunjungan teman-teman pers, waktu itu Aliansi Jurnalis Independen dalam koalisi masyarakat sipil. Ini terkait peliputan Pak. Itu kan ada norma di KUHP kita enggak usah atur dari di sini Pak, KUHAP," kata Habib dalam rapat panja.

"Sudah diatur dalam KUHP jadi tidak perlu lagi diatur di KUHAP," ujarnya.

Wamen Hukum Eddy juga sepakat dengan usulan itu. Ia mengatakan aturan terkait publikasi sudah masuk KUHP.

"Sudah diatur dalam KUHP jadi tidak perlu lagi diatur di KUHAP," tutur Eddy.

"Iya kami komitmen dihapus di sini. Sepakat," kata Habiburokhman.

Impunitas Advokat

RKUHAP kini mengatur kekebalan hukum atau impunitas bagi advokat saat menjalankan tugas dengan itikad baik.

"Bersepakat lah kami anggota Komisi III secara bulat untuk memasukkan pasal tersebut dalam Pasal 140 Ayat 2," ujar Habib.

Bunyi pasalnya:
"Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan."

Eddy menyatakan tidak keberatan selama tetap mengacu pada UU Advokat.

MA Tak Dilarang Jatuhkan Vonis Lebih Berat

Panja RKUHAP menghapus usulan yang melarang Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman lebih berat dari tingkat pertama dan banding.

"Sudah disepakati bahwa ketentuan ini dihapus," jelas Habib.

Sebelumnya, substansi ini tertuang dalam DIM dari pemerintah yakni Pasal 293 ayat (3).

Dengan penghapusan itu, MA tetap bisa menjatuhkan vonis lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya sesuai keyakinannya.

Plea Bargain dan Penundaan Penuntutan

Dilansir detiknews, Panja Komisi III DPR menyepakati pengaturan mekanisme plea bargain atau pengakuan bersalah, serta perjanjian penundaan penuntutan (deferred prosecution agreement/DPA) dalam RKUHAP.

Dalam ketentuan yang disepakati, keputusan atas pengakuan bersalah maupun DPA akan tetap berada di tangan hakim.

Wamenkum Eddy menjelaskan substansi tersebut tercantum dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) 26 dan 27 sebagai bagian dari paradigma hukum pidana modern yang juga tercermin dalam KUHP baru.

"Pasal substansi baru (DIM) 26, 14a mengenai definisi pengakuan bersalah atau yang dikenal istilah plea bargain adalah mekanisme hukum bagi terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan kooperatif dalam pemeriksaan, dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman," ujar Eddy.

Eddy menegaskan bahwa mekanisme plea bargain berbeda dengan keadilan restoratif (restorative justice). Jika restorative justice dijalankan di luar persidangan, maka plea bargain tetap harus melalui proses persidangan dan memerlukan persetujuan hakim.

"Cuma acaranya diubah dari pemeriksaan biasa menjadi pemeriksaan acara singkat, karena si terdakwa sudah mengaku, tetap dijatuhi hukuman cuma diringankan. Lalu ada syarat-syarat plea bargain, ancaman pidana tidak boleh lebih dari 5 tahun," jelas Eddy.

Habiburokhman kemudian meminta persetujuan peserta rapat terkait substansi tersebut, yang disambut persetujuan bulat.

Selain plea bargain, Eddy juga memaparkan substansi baru lainnya berupa perjanjian penundaan penuntutan atau deferred prosecution agreement (DPA). Mekanisme ini berlaku khusus untuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

"Substansi baru juga, ini yang disebut dengan perjanjian penundaan penuntutan DPA, adalah mekanisme hukum bagi penuntut umum untuk menunda penuntutan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana oleh korporasi," kata Eddy.

Baca halaman selanjutnya


Read Entire Article
Korea International