Mesin Melempem, Mungkinkah Target Ekonomi 8 Persen Prabowo Tercapai?

5 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prabowo Subianto berambisi menerbangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen selama pemerintahannya.

Untuk mencapai target itu, ia mengeluarkan berbagai jurus, termasuk membenahi sistem perpajakan hingga menggenjot lebih banyak sumber daya alam melalui hilirisasi.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengatakan Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp13.500 triliun dalam lima tahun ke depan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu ia sampaikan dalam sambutan di Indonesia Mining Summit 2024 yang dibacakan oleh Direktur Perencanaan Infrastruktur BKPM Moris Nuaimi.

"Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen diperlukan realisasi investasi sebesar Rp13.528 triliun selama lima tahun mendatang. Capaian realisasi investasi tersebut diharapkan bisa menyerap tenaga kerja 3,4 juta," katanya kala itu, Rabu (3/12).

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan pertumbuhan ekonomi 8 persen itu bisa dicapai pada 2028.

Ia menuturkan rumus agar pertumbuhan ekonomi 8 persen terletak pada konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Rumus ini sebelumnya digunakan pada pemerintahan Soeharto, di mana pertumbuhan ekonomi berhasil tembus 8,2 persen pada 1995.

"Kalau kita lihat sejarah, kita pernah mencapai angka (pertumbuhan ekonomi) tertinggi di 1995 yaitu 8,2 persen. Tentunya kebijakannya adalah konsumsi, investasi, dan ekspor. Jadi rumus konsumsi, investasi, dan ekspor ini sepertinya berulang," katanya dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi di Jakarta, Rabu (11/12).

Namun, apakah mungkin perekonomian 8 persen masih bisa dicapai lima tahun ke depan? Pasalnya, pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini saja jauh lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,87 persen pada kuartal I-2025, angka ini jauh di bawah tahun lalu yang tercatat 5,11 persen (year on year/yoy) dan 2023 yang sebesar 5,04 persen.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengaku pesimis target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa dicapai dalam waktu dekat di tengah kondisi saat ini.

"Terus terang saya cukup skeptis dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam waktu dekat," kata Rendy kepada CNNIndonesia.com.

Menurutnya, realisasi pertumbuhan 4,87 persen sepanjang kuartal I-2025 sudah cukup bagus di tengah pelemahan daya beli saat ini. Namun, untuk menggenjot perekonomian lebih tinggi butuh dorongan yang lebih besar.

"Untuk melonjak ke angka 8 persen, dibutuhkan dorongan yang luar biasa dari berbagai sisi, dan saat ini saya belum melihat pondasi yang cukup kuat untuk itu," jelasnya.

Konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama perekonomian dinilai tidak bisa banyak membantu karena masih terganjal oleh pelemahan daya beli.

"Inflasi bahan pokok dan energi, ditambah dengan ketidakpastian global, membuat rumah tangga cenderung menahan belanja. Kalau pemerintah ingin mendorong konsumsi, maka kebijakan fiskal seperti bantuan sosial atau insentif pajak harus lebih agresif dan tepat sasaran," kata Rendy.

Sementara dari sisi investasi, Rendy menyebut pemerintah memang punya andalan hilirisasi sebagai motor utama untuk menarik arus modal, terutama dari sektor pertambangan dan industri pengolahan.

Namun, program itu ia nilai belum bisa banyak membantu terutama dalam kondisi ekonomi global yang sedang melemah. Sebab, persaingan antarnegara untuk merebut investasi menjadi sangat ketat.

"Investor global kini jauh lebih selektif, dan mereka tentu akan memilih negara yang menawarkan stabilitas serta kepastian hukum," terangnya.

Berkaitan dengan stabilitas dan kepastian hukum ini, ia mengatakan tentunya Indonesia akan masuk pilihan kesekian investor. Pasalnya,  di dalam negeri masih banyak kendala besar.

Salah satunya inkonsistensi kebijakan. Banyak investor asing yang mempertanyakan komitmen jangka panjang pemerintah karena perubahan regulasi yang kerap terjadi secara tiba-tiba, tanpa sosialisasi yang memadai.

"Ini menciptakan ketidakpastian dan membuat iklim investasi jadi kurang kondusif. Misalnya, insentif fiskal bisa berubah di tengah jalan, atau syarat ekspor-impor bahan baku yang tiba-tiba direvisi," imbuhnya.

Kemudian, dari sisi sektor ekspor, Rendy melihat tak bisa semua komoditas bisa diandalkan. Hanya beberapa saja seperti sektor manufaktur dan hilirisasi sumber daya alam.

"Pemerintah gencar mendorong hilirisasi nikel, bauksit, dan lainnya. Kalau ini berhasil ditopang oleh industri pengolahan yang tumbuh cepat, mungkin bisa jadi motor pertumbuhan baru," kata Rendy.

Di sisi lain, sektor pariwisata dan ekonomi digital dinilai punya potensi besar untuk dijadikan motor penggerak perekonomian. Namun, lagi-lagi dengan syarat infrastrukturnya disiapkan dengan baik dan promosi dilakukan secara serius.

"Kalau semua berjalan baik, mungkin dalam 5-10 tahun ke depan target (8 persen) itu bisa didekati. Tapi dalam waktu dekat, target itu lebih realistis dijadikan aspirasi jangka panjang ketimbang target jangka pendek. Singkatnya, mimpi 8 persen itu mungkin tapi tidak sekarang, dan tidak dengan mesin yang saat ini kita miliki tanpa perombakan besar dan komitmen kuat terhadap kepastian kebijakan," tegasnya.

[Gambas:Video CNN]

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat pertumbuhan ekonomi 8 persen belum bisa dicapai dalam waktu dekat.

Menurut Bhima, masih banyak hal yang harus dilakukan pemerintah untuk bisa mencapai mimpi tersebut. .

"Yang jelas di 2026 belum bisa mencapai 8 persen," terangnya.

Setidaknya ada empat hal yang ia rekomendasikan agar perekonomian bisa tumbuh di atas 5 persen.

Salah satunya, belanja pemerintah lebih harus dilakukan lebih gencar atau ekspansif, terutama belanja modal dan belanja produktif untuk mendukung sektor UMKM.

"Jangan ada lagi efisiensi anggaran yang tidak terencana kecuali anggaran pembayaran bunga utang dan subsidi energi yang bisa dilakukan modifikasi atau penyesuaian. Belanja pemerintah harus bisa jadi stimulus sektor riil," jelasnya.

Dari sisi moneter, dengan proyeksi inflasi yang relatif rendah membuat peluang penurunan suku bunga acuan yang lebih akomodatif terhadap penyaluran kredit perbankan.

"Fiskal dan moneter harus selaras dengan tujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil," katanya.

Kemudian, dari sisi investasi, maka pemerintah harus menarik investasi langsung yang lebih berkualitas atau bisa menyerap lebih banyak lapangan kerja baru.

"Ini termasuk upaya konsisten berantas korupsi dan gangguan pungli yang buat investor malas masuk ke Indonesia," ujarnya.

Sementara, dari sisi ekspor ia melihat masih ada peluang yang bisa diandalkan dari produk industri bernilai tambah dengan tujuan pasar alternatif.

(agt)

Read Entire Article
Korea International