Kemendag Simulasi Tarif Baru AS, Tekstil-Alas Kaki RI Paling Terdampak

6 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut produk tekstil dan alas kaki sebagai sektor yang paling terdampak dalam simulasi kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS) terhadap ekspor Indonesia.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono menyatakan informasi mengenai tarif 47 persen yang ramai diberitakan tidak berlaku untuk semua produk.

"Tolong diluruskan, yang tadi menulisnya 47 persen, jangan ditulis 47 persen ya, karena yang sebenarnya adalah misalnya tekstil 15 persen sampai 30 persen. Kita harus pas menyampaikan informasi kepada masyarakat," ujar Djatmiko dalam konferensi pers di Kemendag, Jakarta Pusat, Senin (21/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan tarif Most Favoured Nation (MFN) yang berlaku untuk produk tekstil dan pakaian asal Indonesia saat ini berkisar antara 5 persen hingga 20 persen, tergantung jenis barang.

Dengan tambahan tarif dasar sebesar 10 persen dalam skema new baseline tariff alias tarif dasar baru, maka tarif produk tekstil dan pakaian Indonesia bisa berada pada kisaran 15 persen hingga 30 persen.

Menurut Djatmiko, jenis produk dalam satu sektor memiliki tarif yang berbeda-beda. Misalnya, baju jadi bisa dikenai tarif 5 persen, kaus kaki 15 persen, dan bahan kain seperti batik 20 persen. Setelah ditambah 10 persen, masing-masing menjadi 15 persen, 25 persen, dan 30 persen.

Sementara untuk produk alas kaki, tarif saat ini sebesar 8 persen hingga 20 persen akan menjadi 18 persen hingga 30 persen setelah penambahan 10 persen.

Djatmiko juga menyusun ilustrasi simulasi tarif baru terhadap produk lain. Produk furnitur kayu yang sebelumnya dikenai tarif 0 persen hingga 3 persen menjadi 10 persen hingga 13 persen setelah penambahan.

Produk perikanan berubah dari 0 persen hingga 15 persen menjadi 10 persen hingga 25 persen. Sementara itu, produk karet dari tarif awal 2,5 persen-5 persen akan menjadi 12,5 persen-15 persen.

Djatmiko menjelaskan kebijakan tarif dasar baru (new baseline tariff) sebesar tambahan 10 persen tersebut mulai diberlakukan oleh AS sejak 5 April 2025. Sementara itu, skema tarif resiprokal yang mengenakan tambahan 32 persen terhadap produk Indonesia dijadwalkan berlaku mulai 9 Juli 2025.

Jika skema tarif sektoral sebesar 25 persen ini diberlakukan, maka tarif dasar baru maupun tarif resiprokal tidak akan dikenakan pada produk yang sama.

"Catatannya adalah, jika diterapkan, maka tarif dasar baru dan resiprokal tidak diberlakukan. Jadi kalau sektor ini, satu negara sudah dikenakan tarif sektoral, misalnya Indonesia mengekspor baja, aluminium, ataupun otomotif dan komponennya, kemudian dikenakan tarif sektoral sebesar 25 persen, maka tarif dasar baru dan tarif resiprokal tidak akan dikenakan," jelasnya.

Simulasi lainnya menunjukkan ilustrasi jika AS menerapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk produk asal Indonesia. Jika diberlakukan, tarif sektor tekstil dan pakaian akan naik menjadi 37 persen hingga 52 persen, alas kaki 40 persen hingga 52 persen, furnitur kayu 32 persen hingga 35 persen, produk perikanan 32 persen hingga 47 persen, dan produk karet 34,5 persen hingga 37 persen.

Ilustrasi yang sama juga disusun untuk beberapa negara lain. Vietnam, misalnya, diproyeksikan dikenakan tambahan tarif 46 persen, Malaysia 24 persen, Thailand 36 persen, Korea Selatan 25 persen, dan India 26 persen. Dalam skenario tersebut, tarif produk alas kaki asal Vietnam dapat mencapai hingga 66 persen.

Selain itu, tarif sektoral untuk baja, aluminium, otomotif, dan komponen otomotif telah diberlakukan. Tarif baja dan aluminium yang semula 0 persen hingga 5 persen naik menjadi 25 persen hingga 30 persen, sementara komponen otomotif dari 2,5 persen naik menjadi 27,5 persen.

Djatmiko menjelaskan hingga saat ini, proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah AS masih berjalan.

"Ini masih dinamis, kita masih menunggu perundingan dan pembicaraan selanjutnya dengan pemerintah Amerika Serikat," ujar Djatmiko.

Ia menambahkan China dan Kanada telah lebih dulu mengajukan konsultasi ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DBS) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan tarif tersebut.

[Gambas:Video CNN]

(del/sfr)

Read Entire Article
Korea International