Surabaya, CNN Indonesia --
Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017-2021 Awan Setiawan mengaku akan mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus.
Melalui kuasa hukumnya, Didik Lestariyono, Awan menyebut penetapan tersangka yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) adalah tindakan yang prematur.
"Penetapan tersebut kami pandang sebagai langkah yang prematur, tidak proporsional, dan tidak mencerminkan prinsip due process of law dalam sistem hukum yang adil. Kami akan mengajukan praperadilan," kata Didik, Kamis (12/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didik mengatakan, pengadaan tanah yang menjadi objek perkara ini, diklaim Awan telah dilakukan secara terbuka, akuntabel, serta berdasarkan mekanisme dan regulasi yang berlaku.
Tanah seluas 7.104 meter persegi yang berlokasi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru itu tepat berdampingan dengan aset milik Polinema. Tanah itu merupakan bagian integral dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema 2010-2034.
"Letaknya strategis, kondisi fisiknya datar dan siap bangun, sehingga secara teknis sangat ideal untuk pengembangan sarana pendidikan tinggi vokasi," ucapnya.
Dia mengklaim, harga pembelian sebesar Rp6 juta per meter persegi telah mencakup pajak dan dinilai wajar, mengacu pada data harga pasar dari instansi resmi, seperti kelurahan, kecamatan, dan kantor pertanahan atau BPN.
"Proses ini ditangani sepenuhnya oleh Tim Pengadaan Tanah yang dikenal sebagai Tim 9, yang dibentuk melalui Surat Keputusan Direktur dan terdiri dari pejabat struktural Polinema. Mereka bertanggung jawab atas seluruh tahapan, mulai dari survei lokasi hingga penetapan harga dan transaksi," katanya,
"Penting untuk ditegaskan bahwa klien kami, Bapak Awan Setiawan, tidak pernah melakukan negosiasi langsung dengan pemilik atau penjual tanah," tambah Didik.
Selain itu, kata dia, seluruh kewajiban perpajakan, termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maupun Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual, ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah, bukan oleh Polinema.
"Ini merupakan bukti bahwa tidak ada pengeluaran negara di luar ketentuan," ujarnya.
Didik melanjutkan, pengadaan ini telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak, dan lahan tersebut telah resmi disertifikatkan atas nama negara serta tercatat dalam daftar Barang Milik Negara (BMN). Artinya, secara hukum, administratif, dan faktual, tanah tersebut telah sah menjadi bagian dari aset negara.
Menurutnya, perkara ini muncul bukan karena kesalahan dalam proses pengadaan, tetapi justru karena penghentian pembayaran sisa harga oleh pimpinan Polinema setelah Awan Setiawan tidak lagi menjabat. Hal tersebut menimbulkan sengketa yang kemudian dibawa ke ranah hukum oleh pemilik tanah.
Sampai saat ini, kata dia, belum ada satu pun hasil audit dari BPK maupun BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara. Maka menurutnya menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar kerugian negara yang jelas adalah tindakan yang tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum.
Ia juga menyebut, Awan merupakan akademisi dan pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun untuk pendidikan tinggi vokasi di Indonesia. Kliennya itu diklaim menjunjung tinggi integritas dan tata kelola yang baik. Seluruh kebijakan yang juga didasarkan pada pertimbangan kolegial, regulasi yang berlaku, dan semangat memajukan institusi.
"Kami sangat menyesalkan penetapan tersangka terhadap klien kami yang tidak berdasar dan dilakukan sebelum ada hasil audit resmi yang menyatakan kerugian negara. Kami tegaskan bahwa semua prosedur telah dilalui secara sah, transparan, dan akuntabel. Negara justru telah memperoleh aset berupa tanah yang sah, yang telah dicatat dalam BMN. Di mana letak kerugiannya?" ujar Didik.
"Kami percaya kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan berdiri tegak, dan klien kami akan memperoleh haknya untuk dipulihkan nama baik serta kehormatannya di mata publik," tutupnya.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan Direktur Polinema periode 2017-2021 Awan Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema. Kasus ini bermula dari pengadaan tanah pada tahun anggaran 2019-2020 yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Dalam proses pengadaan, Awan diduga mengabaikan prosedur resmi, seperti tidak membentuk panitia pengadaan dan tidak menggunakan jasa penilai independen (appraisal). Tanah seluas 7.104 meter persegi itu dihargai Rp6 juta per meter tanpa dasar yang sah. Pembayaran dilakukan secara bertahap hingga Rp22,6 miliar, namun tidak disertai pencatatan hak atas tanah oleh Polinema.
Selain itu, proses ini pun dilakukan dengan dokumen bermasalah seperti backdate dan tanpa akta jual beli. Akibatnya, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar. Awan dan satu orang lain yakni HS, kini telah ditahan.
"Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jatim, Windhu Sugiarto.
Keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (frd)
(frd/sfr)