Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iskandar Marwanto mengungkapkan kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat kasus korupsi meningkat signifikan setiap tahunnya.
Hal itu disampaikan Iskandar dalam sidang perkara nomor: 142/PUU-XXII/2024 dan 161/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/7).
KPK bersama Mahkamah Agung (MA) dan Kepolisian RI menjadi pihak terkait dalam perkara tersebut.
Iskandar menuturkan apabila dikelompokkan dari cara atau modus di dalam melakukan perbuatannya, secara doktriner dapat dibagi menjadi tujuh kelompok yakni tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
"Sehingga menunjukkan bahwa korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara tersebut secara riil terjadi setiap tahun," ujar Iskandar di hadapan majelis hakim konstitusi sebagaimana dilansir dari laman resmi MK, Rabu (16/7).
Iskandar mengatakan penambahan prasyarat dalam unsur Pasal-pasal yang diuji sebagaimana kehendak pemohon akan menimbulkan ganda perbuatan yang dilarang yakni antara melawan hukum/penyalahgunaan kewenangan dengan suap-menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi, dalam satu Pasal.
Sementara suap menyuap dan sebagainya itu merupakan bentuk delik atau tindak pidana tersendiri dalam UU Tipikor yang diancam sanksi tersendiri.
Jika dikaitkan dengan kerugian atau perekonomian negara, Iskandar mengatakan keadaan-keadaan suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, serta benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi hanya merupakan modus atau cara sebagai perwujudan konkret perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, menurut Iskandar, dalam pembuktiannya tidak harus dibuktikan tersendiri sebagai unsur, melainkan sudah tercakup dalam pembuktian unsur melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.
Iskandar menambahkan signifikansi dan urgensi pengaturan korupsi kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak hanya bersifat normatif, melainkan juga memiliki relevansi empiris dengan merujuk pada jumlah kerugian keuangan atau perekonomian negara yang ditimbulkan serta prevalensi penanganan perkara korupsi kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Dia mengutip riset Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul "Tren Vonis Kasus Korupsi" Tahun 2014 sampai 2023 yang menyimpulkan jumlah total kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi pada periode itu secara nasional mencapai lebih dari Rp291,5 triliun.
Sejak tahun 2014 sampai Mei 2025, Iskandar mengungkapkan KPK telah menangani 310 perkara tindak pidana korupsi dengan klasifikasi kerugian keuangan atau perekonomian negara. Total jumlah kerugian keuangan atau perekonomian negara yang ditangani KPK pada 2018-2025 mencapai lebih dari Rp25,1 triliun.
Norma tidak tegas
Sementara itu, Wakil Ketua KPK periode 2016-2024 Alexander Marwata menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sering kali menimbulkan perdebatan hanya karena ada perbedaan penafsiran yang tidak jelas kriteria penerapannya. Hal ini disampaikan Alex sebagai saksi yang dihadirkan oleh pemohon perkara nomor: 161/PUU-XXII/2024.
"Hal terpenting yang menjadi catatan adalah maraknya pemidanaan terhadap seseorang yang perbuatannya kemudian dirangkai sedemikian rupa agar tampak seolah-olah melanggar hukum, semata-mata untuk memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, dalam kenyataannya tidak terdapat hubungan kausalitas antara tindakan yang dilakukan dengan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut," tutur Alex.
Salah satu contoh konkret dari praktik tersebut berdasarkan pengalaman langsung Alex sebagai Hakim Ad Hoc yang memeriksa dan mengadili perkara nomor: 35/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST dengan terdakwa Hotasi Nababan (Direktur BUMN yakni PT Merpati Nusantara Airlines atau PT MNA), yang menjadi pemohon dalam perkara pengujian ini.
Dalam perkara tersebut, Hotasi didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena keputusan bisnis yang diambilnya dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) yang melakukan kerja sama atau bisnis untuk pengadaan sewa-menyewa pesawat dengan PT MNA. Sebagai bagian dari perjanjian, PT MNA telah membayarkan security deposit sebesar Rp1 juta dollar Amerika Serikat. Namun, TALG kemudian tidak menyerahkan pesawat dan tidak mengembalikan dana tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi PT MNA.
Dalam pemeriksaan tingkat pertama, Hotasi diputus bebas karena terbukti keputusan tersebut diambil secara profesional, telah mendapat persetujuan direksi, tidak ada niat jahat atau mens rea, tidak ada keuntungan yang diperoleh secara pribadi, serta tidak terbukti ada afiliasi dengan TALG. Namun, pada tingkat kasasi, Hotasi dinyatakan bersalah hanya karena timbulnya kerugian negara dan ada pihak yang "diperkaya", tanpa mempertimbangkan niat atau hubungan kausalitas dari perbuatannya terhadap kerugian keuangan negara tersebut.
Alex mengatakan perbedaan tajam antara putusan bebas dan pemidanaan tersebut mencerminkan ketidaktegasan norma dalam Pasal 2 ayat (1) das Pasal 3 UU Tipikor, yang memungkinkan penafsiran luas tanpa batasan mens rea, sehingga kebijakan bisnis ataupun keputusan-keputusan pejabat dapat dengan mudah dirangkai sedemikian rupa untuk memenuhi unsur Pasal.
Menurut Alex, terdapat sejumlah permasalahan yang muncul dari adanya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, di antaranya orang dapat didakwa padahal tidak ada mens rea pada dirinya, karena tidak ada unsur dengan maksud di dalam Pasal 2 UU Tipikor.
Hotasi mengajukan uji materi Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor yang mengatur perihal delik kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Dia memohon kepada MK agar menyatakan frasa "secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara" dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dengan maksud merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum".
Selain itu, dia memohon agar MK juga menyatakan frasa "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dengan maksud merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan".
Sidang tersebut diselenggarakan bersamaan untuk perkara nomor: 142/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017) Syahril Japarin (Pemohon I), Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari (Pemohon II), serta Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (Pemohon III). Para Pemohon memohon MK agar ada syarat bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan sanksi pidana/denda dalam ketentuan norma yang diuji tersebut.
Dalam petitumnya para pemohon tersebut memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon memohon kepada MK menjatuhkan putusan alternatif agar menyatakan frasa "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor," atau "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan," atau "memperkaya diri secara langsung atau tidak langsung dan orang lain atau suatu korporasi".
Kemudian menyatakan frasa "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor", atau "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan" atau "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri secara langsung atau tidak langsung, dan orang lain, atau suatu korporasi"; dan menyatakan frasa "yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(ryn/dal)