Benarkah Ketindihan Saat Tidur Ulah Setan? Ini Penjelasan Ilmiahnya

1 week ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Cerita mengenai fenomena badan tiba-tiba kaku, tak mampu bergerak, bersuara, atau bernapas ketika sedang tidur kerap diasosiasikan ulah makhluk halus. Namun, bagaimana faktanya menurut sains?

Fenomena ini disebut kelumpuhan tidur atau sleep paralysis. Di Indonesia, fenomena ini punya istilah yang lebih mistis; ketindihan setan atau makhluk halus.

Pasalnya, sejumlah pengakuan mengklaim melihat sosok bayangan, merasakan tekanan di dada, atau merasa ada yang memegang leher mereka saat fenomena ini terjadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yeni Quinta Mondiani, ahli neurologi sekaligus dosen Fakultas Kedokteran IPB University, mengatakan fenomena ini memiliki penjelasan ilmiah. Menurutnya tidur merupakan proses fisiologis yang berulang, ditandai dengan penurunan kesadaran secara reversibel.

"Ketika seseorang tidur, ia akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara global sehingga otak tidak bisa merespons penuh terhadap stimulus sekitar," kata Yeni, melansir laman resmi IPB, Selasa (9/9).

Ia menjelaskan bahwa siklus tidur manusia terbagi menjadi lima fase, yakni empat fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan satu fase Rapid Eye-Movement (REM). Kelima siklis ini dapat terjadi berulang kali dalam satu siklus tidur.

"Fase 3 dan 4 NREM dikatakan sebagai fase tidur yang paling dalam. Fase ini berfungsi mengembalikan kesegaran tubuh dan restorasi kondisi tubuh setelah beraktivitas," tuturnya.

Menurutnya fase ini secara fisiologis memiliki ambang yang tinggi untuk terbangun, dan diduga pula sering diasosiasikan dengan berbagai gangguan tidur seperti sleep walking dan sleep terror.

Sementara itu, fase REM merupakan fase ketika mimpi dapat diingat. Pada fase ini, terjadi hambatan sinyal motorik (untuk pergerakan) yang sangat kuat. Hanya sedikit gerakan yang muncul pada fase ini.

Gangguan tidur

Sleep paralysis atau ketindihan termasuk dalam jenis gangguan tidur yang disebut parasomnia. Ini ditandai dengan terbangunnya tidur, baik saat awal maupun selama tidur, yang tidak mengubah kualitas maupun kuantitas tidur.

Yeni mendefinisikan sleep paralysis sebagai ketidakmampuan tubuh untuk bergerak saat awal atau akhir meski kesadaran sudah kembali.

"Sleep paralysis itu sendiri adalah ketidakmampuan bergerak pada saat awal atau akhir tidur, sementara subjek telah terbangun," jelasnya.

Gangguan ini terjadi pada fase REM, ketika seharusnya otot tidak dapat digunakan, sementara subjek tertidur. Simpelnya, ketika fenomena ini terjadi, tubuh masih dalam 'sleep mode', tapi otak sudah aktif.

Sleep paralysis umumnya muncul pertama kali pada usia 15 hingga 35 tahun. Kondisi ini dapat muncul secara sporadis yang dipicu oleh kurang tidur, stres, gangguan kecemasan, faktor keturunan, serta kondisi medis seperti narkolepsi.

"Sebagian besar subjek tertidur dengan posisi terlentang dan tidak dapat bergerak, sekalipun napas dan jantung bergerak secara normal. Tiap episode bisanya beberapa detik hingga menit," paparnya.

Selama kejadian, seseorang masih memiliki kesadaran terhadap keadaan yang terjadi, sehingga sering diikuti perasaan ketakutan, meski pada beberapa subjek bisa merasa sangat rileks. Gejala lain yang bisa muncul termasuk halusinasi, terutama jika penyebabnya adalah narkolepsi.

"Hal ini bisa menyebabkan rasa takut pada subjek. Episode ini dapat berakhir secara spontan," jelas Yeni.

Penyebab

Menurut National Sleep Foundation, kelumpuhan saat tidur itu merupakan gejala umum narkolepsi, yakni suatu kondisi yang ditandai dengan rasa kantuk yang berlebihan, serangan tidur, dan hilangnya kontrol otot secara tiba-tiba.

Kelumpuhan tidur tanpa narkolepsi dikenal sebagai "kelumpuhan tidur terisolasi," atau "kelumpuhan tidur terisolasi berulang" jika terjadi beberapa kali.

Menurut American Sleep Association, kelumpuhan tidur juga dapat menyebabkan orang merasakan tekanan di dadanya, atau merasa seolah-olah tubuhnya bergerak tanpa diarahkan.

Kadang-kadang orang mengalami halusinasi yang menyenangkan dan merasa tubuhnya seolah-olah tidak berbobot. Namun, seringnya mereka merasakan sensasi yang sangat mengganggu seperti kelumpuhan.

Para pakar mengungkap sejumlah potensi penyebab sleep paralysis itu, salah satunya terkait dengan stres.

Menurut sebuah tinjauan pada 2011, sekitar 7,6 persen populasi dunia mengalami setidaknya sekali kasus kelumpuhan tidur selama hidup. Angka yang lebih tinggi tercatat di antara pelajar dan pasien psikiatri, terutama mereka yang mengalami stres pascatrauma atau gangguan panik.

Hal itu diungkap Brian A. Sharpless dari Department of Psychology, Pennsylvania State University, dan Jacques P. Barber dari Center for Psychotherapy Research, Department of Psychiatry, University of Pennsylvania, dalam jurnal bertajuk 'Lifetime Prevalence Rates of Sleep Paralysis: A Systematic Review'.

Ada beberapa faktor penyebab ketindihan termasuk faktor genetik, sejarah trauma, diagnosa psikiatrik dan kondisi kesehatan serta kualitas tidur yang buruk. Kondisi-kondisi itu meningkatkan risiko seseorang mengalami ketindihan.

Frekuensi kejadian dan tingkat keparahannya juga berkaitan dengan kecemasan serta kekurangan tidur.

(dmi/dmi)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Korea International