Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membangkitkan kembali rencana redenominasi rupiah yang pernah bergulir di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Purbaya berencana menyiapkan kebijakan mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 lewat undang-undang baru pada 2027. Recana itu ia ungkap lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029.
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027," bunyi PMK 70/2025 yang ditandatangani Purbaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Purbaya menitipkan tugas ke Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan sebagai penanggung jawab redenominasi.
Ia menyiapkan redenominasi rupiah demi efisiensi perekonomian.
Purbaya juga menjadikan redenominasi rupiah sebagai strategi menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional, nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat, serta meningkatkan kredibilitas rupiah.
Lalu, apa itu redenominsasi rupiah?
Situs resmi Bank Indonesia (BI) menjelaskan redenominasi rupiah sebagai penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula dengan penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang.
Penyederhanaan hanya dilakukan dengan menghilangkan sejumlah angka nol di uang. Redenominasi tidak mengubah nilai dari uang tersebut.
Misalnya, uang Rp100 ribu akan diganti dengan uang Rp100. Namun, nilai dua uang itu setara.
Jika Rp100 ribu bisa dipakai membeli satu potong kemeja, maka Rp100 juga bisa dipakai membeli satu potong kemeja.
Redenominasi vs sanering
Redenominasi rupiah sering disalahpahami sebagai sanering. Berbeda dari redenominasi yang berupa penyederhanaan angka di uang, sanering berupa pemotongan nilai uang.
Redenominasi tidak memengaruhi daya beli masyarakat karena hanya angka di uang yang disederhanakan. Adapun sanering memengaruhi daya beli masyarakat karena mengubah nilai uang.
Redenominasi dilakukan saat inflasi berada di kisaran yang rendah dan pergerakannya stabil, pertumbuhan ekonomi terjaga, stabilitas harga terjaga, kondisi moneter dan sistem keuangan stabil, ada kebutuhan dan kesiapan masyarakat, serta kondisi sosial dan politik stabil.
Sementara itu, sanering dilakukan saat kondisi perekonomian tidak sehat. Pemotongan nilai uang lewat sanering diharapkan bisa memuihkan ekonomi.
Wacana lama
Rencana Purbaya melakukan redenominasi rupiah bukan hal baru. Wacana ini sudah bergulir sejak 2013.
Rencana itu kembali mencuat di era Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo. Pada Desember 2016, Agus meminta restu Presiden ke-7 RI Jokowi untuk mendukung proses penyelesaian UU Redenominasi Uang Rupiah.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga pernah merencanakan redenominasi rupiah pada 2023. Bahkan, ia menyebut BI sudah menyiapkan desain dan bentuk baru rupiah.
"Masalah desainnya, kemudian juga masalah tahapannya, itu juga kami sudah siapkan sejak dari dulu secara operasional dan kemudian bagaimana bentuk, langkah-langkahnya," ujar Perry kala itu.
Meski demikian, rencana-rencana itu belum kunjung terwujud. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyebut redenominsi rupiah butuh waktu bertahun-tahun.
"Seluruh mata uang di dunia ini yang nolnya cukup banyak, seperti Turki, karena pernah alami inflasi sangat tinggi. Sehingga, redenominasi lebih meyakinkan apabila fondasi ekonomi terjaga dengan baik. Kalaupun dilakukan, butuh tujuh tahun agar transisi ini bisa berhasil," kata Sri Mulyani saat masih menjabat Menteri Keuangan pada 19 Desember 2016.
(dhf)

















































