Tepatkah Purbaya Mau Hapus Utang Rp1 Juta Biar Warga Bisa Ajukan KPR?

5 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa akan menghapus utang macet di bawah Rp1 juta milik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Langkah ini dilakukan agar MBR tetap bisa mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi.

Purbaya mengatakan telah meminta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) untuk mendata calon debitur yang terhalang akses KPR akibat catatan kredit kecil tersebut.

Ia juga akan berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar langkah ini bisa menjadi masyarakat yang terganjal administratif Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dalam mengajukan KPR bersubsidi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya akan bertemu dengan OJK nanti. Jadi, saya minta tadi, hari Senin pekan depan apakah betul ada 100 ribu lebih orang yang seperti itu. Komisioner BP Tapera bilang 100 ribu lebih artinya kalau diputihkan di bawah Rp1 juta dan katanya pengembangnya mau bayar, itu bagus. Minggu depan Kamis mungkin saya akan ke OJK sehingga diharapkan sudah clear bisa apa tidak, harusnya bisa," jelas Purbaya dalam keterangan resmi, Selasa (14/10).

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait sebelumnya memang mengungkapkan kepada Purbaya bahwa SLIK menjadi masalah yang sering dikeluhkan para pengembang.

"Saya sudah laporkan penyerapan anggaran di Kementerian PKP, saya janjikan penyerapan kami itu di Desember 2025 akhir itu paling tidak 96 persen itu akan tercapai. Saya juga sampaikan berbagai masalah salah satunya soal SLIK OJK yang menjadi keluhan pengembang," ujar pria yang akrab disapa Ara itu.

"Pak Menkeu berkenan untuk membantu nanti kebijakan dengan OJK, sehingga nanti dari segi demand perumahan bisa terselesaikan. Hari Senin pekan depan sudah akan di-follow up dan dijadwalkan Kamis-nya akan ketemu dengan OJK," sambungnya.

Lantas tepatkah langkah Purbaya menghapus utang warga di bawah Rp1 juta agar MBR bisa beli rumah?

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan pemutihan utang kecil untuk calon pembeli rumah bersubsidi bisa tepat bila diposisikan sebagai mekanisme pemulihan kredit (de-minimis cure), bukan penghapusan tanpa syarat.

"Agar akurat sasaran, kebijakan harus dibatasi pada pembelian rumah pertama, MBR, dan utang kecil yang sudah dibereskan sebelum akad. Dalam bingkai itu, kebijakan berfungsi sebagai pelumas inklusi perumahan tanpa merusak disiplin kredit" katanya pada CNNIndonesia.com, Rabu (15/10).

Menurutnya, kebijakan ini bisa membawa nilai tambah, di antaranya akses KPR subsidi melebar, tingkat persetujuan naik, serapan FLPP lebih cepat, multiplier konstruksi mengalir ke bahan bangunan, tenaga kerja, dan jasa terkait. Namun, juga menimbulkan risiko pada moral hazard, persepsi ketidakadilan bagi debitur yang taat, serta kemungkinan lonjakan gagal bayar dini bila bank mengendurkan uji kemampuan bayar.

"Ada pula risiko arbitrase dari pinjaman mikro yang sengaja dipecah agar lolos ambang batas, serta potensi beban fiskal jika kebijakan bergeser menjadi hapus tagih massal," katanya.

Sementara itu, ekonom CELIOS Nailul Huda mengatakan pemerintah perlu melihat harus melihat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank apakah kuat atau tidak ketika diberikan beban pemutihan. Sama seperti kasus pemutihan utang UMKM, perbankan juga sudah memiliki mekanisme sendiri terkait dengan pemutihan utang berapa pun nilainya dengan mempertimbangkan CKPN.

"Pasti ada kriteria tertentu nasabah yang menentukan nasabah berhak mendapatkan pemutihan atau tidak," katanya.

Ia menambahkan ada potensi moral hazard juga ketika ada pemutihan dari pemerintah dengan kriteria tertentu. Bisa jadi kemampuan bayar orang yang Rp1,1 juta lebih baik tetapi tidak mendapatkan pemutihan.

"Jadi saya rasa kuncinya bukan di besaran utang yang terutang, namun di kemampuan bayarnya. Jika mempunyai kemampuan bayarnya ada namun punya tanggungan utang Rp1,3 juta ya bisa dipertimbangkan. Jadi saya rasa lebih baik jangan hanya besaran hutang saja, namun karakteristik dan kemampuan bayarnya," katanya.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan secara prinsip, kebijakan pemutihan utang kecil di bawah Rp1 juta bagi calon pembeli rumah bersubsidi bisa dianggap tepat secara sosial, karena tujuannya memulihkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap fasilitas KPR subsidi.

Namun, dari sisi tata kelola keuangan, sambungnya perlu kehati-hatian karena berpotensi menimbulkan moral hazard.

"Masyarakat bisa berasumsi bahwa utang kecil akan selalu dihapuskan di masa depan. Jadi, meski secara sosial baik, secara fiskal dan perilaku perlu pengawasan ketat," katanya.

"Minus dan risikonya bisa menimbulkan preseden buruk jika dilakukan tanpa kriteria jelas, orang bisa sengaja menunggak kecil dengan harapan akan diputihkan lagi" katanya.

Ronny mengatakan pemerintah perlu melakukan empat hal jika ingin melakukan kebijakan ini. Pertama, membatasi secara tegas kriteria penerima. Kedua, melakukannya sekali saja dan bersifat final, agar tidak menimbulkan ekspektasi berulang di masa depan.

Ketiga, mengintegrasikan data keuangan dan perumahan, supaya penerima KPR subsidi benar-benar berasal dari kelompok yang layak dan bukan spekulan properti.Keempat, edukasi publik, agar masyarakat memahami bahwa ini adalah langkah pemulihan, bukan pembebasan utang yang bisa diulangi kapan saja.

"Pendeknya, kebijakan ini bisa menjadi langkah inklusif dan humanis, tapi harus diimplementasikan dengan batasan, transparansi, dan pengawasan yang superketat agar tidak menciptakan masalah baru dalam disiplin fiskal dan moral keuangan masyarakat," katanya.

[Gambas:Video CNN]

(pta)

Read Entire Article
Korea International