Jakarta, CNN Indonesia --
Kereta Panoramic mulai bergerak perlahan dari Stasiun Gambir. Pagi itu, langit Jakarta masih berwarna jingga keemasan, tapi lalu lintas kota sudah sibuk seperti biasa.
Namun, di dalam gerbong yang memiliki jendela besar dan atap kaca ini, dunia terasa lebih luas dan bebas. Dari tempat duduk, bisa terlihat gedung-gedung tinggi yang semakin menjauh, digantikan dengan lanskap hijau yang membentang tanpa batas.
Perjalanan ini memang terasa lebih istimewa. Bukan sekadar perjalanan mudik biasa, tapi juga sebuah pengalaman menikmati keindahan alam Jawa Barat dari sudut pandang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kurang lebih tiga tahun tidak mudik ke kampung halaman di Ciamis, Jawa Barat, tahun ini saya memutuskan pulang ke kampung halaman. Mulanya memang agak bingung dengan moda transportasi yang akan digunakan, maklum saja, perjalanan panjang dan jauh membuat saya harus memilih moda transportasi ternyaman agar perjalanan tidak terasa membosankan.
Sampai akhirnya, saya memilih menggunakan Kereta Pangandaran relasi Gambir-Banjar dengan menumpang di Kereta Api Panoramic yang memang disediakan satu gerbong di jurusan ini.
Lanskap hijau dari gerbong kereta
Kereta Panoramic ini merupakan hasil modifikasi dari kereta eksekutif KAI Wisata, menawarkan sensasi melihat pemandangan tanpa hambatan. Tak hanya itu, kursi yang nyaman, tirai otomatis, serta sajian makanan dan minuman gratis membuat perjalanan ini terasa lebih mewah dan nyaman.
Saat kereta melaju keluar dari Jakarta, hamparan sawah hijau mulai mendominasi pemandangan. Saya bahkan bisa melihat dengan jelas para petani yang membungkuk di antara padi yang menguning, sungai kecil berkelok mengikuti jalur kereta, dan langit biru yang membentang luas di setiap perjalanan.
Setiap detik terasa seperti sebuah lukisan bergerak yang begitu menawan dan menenangkan.
Tak berapa lama, kereta mulai memasuki kawasan perbukitan Priangan. Inilah bagian perjalanan yang paling dinantikan hampir semua penumpang Kereta Api Panoramic.
Perbukitan hijau berselimut kabut tipis menjadi latar yang sempurna untuk menikmati perjalanan ini. Udara terasa lebih sejuk meskipun saya hanya duduk di dalam, menikmati panorama yang tersaji lewat jendela besar di setiap sisi kereta.
Salah satu momen paling menakjubkan adalah ketika kereta melintasi Jembatan Cikubang. Jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Pulau Jawa, membentang sepanjang 300 meter dengan ketinggian sekitar 80 meter di atas Sungai Cikubang.
Dari dalam gerbong, saya bisa melihat lembah hijau di bawah sana, begitu dalam dan memukau. Sensasi melayang di atas jembatan ini benar-benar membuat napas tertahan sejenak.
Suasana di dalam kereta api Panoramic relasi Gambir-Pangandaran dengan pemberhentian terakhir di Stasiun Banjar, Jawa Barat (CNN Indonesia/Tiara Sutari)
Tak lama setelah itu, kereta memasuki Terowongan Sasaksaat, salah satu terowongan kereta api aktif terpanjang di Indonesia. Dengan panjang 949 meter, terowongan ini membelah perbukitan dan membawa kereta melewati lorong gelap selama beberapa menit sebelum kembali disambut cahaya dan pemandangan yang lebih dramatis di sisi lainnya.
Tentunya suguhan keindahaan tak berhenti di situ. Ada banyak perbukitan yang bisa dilihat, hamparan sawah di setiap sisi yang juga terasa memukau mata. Bahkan, saat melintasi kawasan Gedebage, Bandung, mata penumpang juga tertuju pada bangunan megah Masjid Al Jabbar.
Masjid dengan arsitektur futuristik ini tampak begitu mencolok dengan kubah-kubahnya yang unik. Dari jendela Panoramic, masjid ini terlihat begitu anggun, seolah menjadi penanda bahwa perjalanan memasuki daerah yang lebih sejuk dan tenang.
Hampir delapan jam perjalanan tidak terasa menjemukan. Semua terlihat penuh pesona dan saya pun akhirnya tiba di Stasiun Banjar. Suasana khas kota kecil yang hangat langsung menyergap, seakan menyambut para perantau yang kembali ke kampung halaman.
Bagi yang melanjutkan perjalanan ke Pangandaran, masih ada hamparan pantai dan debur ombak yang menanti di ujung perjalanan.
Bagi saya, mudik dengan Kereta Api Panoramic bukan sekadar pulang ke kampung halaman, tetapi juga sebuah petualangan yang mengajak untuk lebih menghargai keindahan negeri sendiri.
Setiap jendela adalah bingkai yang menangkap kisah perjalanan, setiap lekukan jalur adalah bagian dari cerita yang tak akan terlupakan.
(tis/tis)