Manusia Rp2.300T Tak Sarankan Mahasiswa Kuliah IT, tapi Jurusan Ini

7 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

CEO Nvidia Jensen Huang blak-blakan tidak menyarankan anak muda mengambil kuliah jurusan IT. Lalu, apa sarannya?

Huang mengaku, jika saat ini ia masih mudah dan baru lulus kuliah, ia justru tidak akan memilih jurusan teknologi informasi atau software, melainkan ilmu fisika.

Hal tersebut diungkap Huang ketika mendapat pertanyaan dari seorang jurnalis. Ia ditanya jika saat ini berusia 22 tahun dan baru lulus, maka ia tidak akan fokus pada teknologi informasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk Jensen yang masih muda, berusia 20 tahun, yang sudah lulus sekarang, dia mungkin akan memilih ... lebih memilih ilmu fisika daripada ilmu perangkat lunak," kata Huang, Kamis (17/7), melansir CNBC.

Huang merupakan lulusan teknik elektro dari Oregon State University dan meraih gelar master dari Stanford University.

Pada tahun 1993, ia mendirikan Nvidia bersama Chris Malachowsky dan Curtis Priem. Di bawah kepemimpinan Huang sebagai CEO, perusahaan pembuat chip ini kini telah menjadi perusahaan paling bernilai di dunia.

Nvidia juga menjadi perusahaan pertama di dunia yang mencapai kapitalisasi pasar sebesar US$4 triliun atau sekitar Rp64.884 triliun pada minggu lalu.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam 15 tahun terakhir, dunia telah melewati beberapa fase akal imitas. Namun, sekarang salah satu gelombang berikutnya dari teknologi kecerdasan buatan adalah 'Physical AI'.

"AI modern benar-benar mulai dikenal sekitar 12 hingga 14 tahun yang lalu, ketika AlexNet diluncurkan dan visi komputer mengalami terobosan besar," ujar Huang.

AlexNet merupakan model komputer yang diluncurkan pada tahun 2012 dan memperkenalkan deep learning dalam pengenalan gambar dan menjadi pemicu ledakan AI modern. Gelombang pertama ini disebut 'Perception AI,'

Kemudian, muncul gelombang kedua yang disebut 'AI Generatif'. Model AI ini telah belajar bagaimana memahami arti dari informasi dan juga menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa, gambar, kode, dan lainnya.

Menurut pria berharta US$148,1 miliar atau sekitar Rp2.399 triliun itu, saat ini dunia sedang berada dalam fase Reasoning AI.

"Kita sekarang berada di era yang disebut 'Reasoning AI', di mana AI kini dapat memahami, menghasilkan, [dan] memecahkan masalah dan mengenali kondisi yang belum pernah kita lihat sebelumnya," katanya.

Ia menjelaskan gelombang Reasoning AI berhasil melahirkan agentic AI, atau robot digital yang mampu bernalar dan bekerja layaknya tenaga kerja manusia digital.

Menurut Huang, fase selanjutnya dari teknologi kecerdasan buatan adalah gelombang 'Physical AI' yang jauh lebih kompleks dan menarik.

"Gelombang berikutnya mengharuskan kita untuk memahami hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, kelembaman, sebab dan akibat," ujar Huang.

Ia menjelaskan kemampuan penalaran fisik, seperti konsep keabadian objek, atau fakta bahwa objek tetap ada meskipun tidak terlihat, akan menjadi hal yang penting dalam fase kecerdasan buatan berikutnya.

Aplikasi dari penalaran fisik termasuk memprediksi hasil, seperti ke mana bola akan menggelinding, memahami berapa banyak kekuatan yang dibutuhkan untuk mencengkeram sebuah objek tanpa merusaknya dan menyimpulkan keberadaan pejalan kaki di belakang mobil.

"Dan ketika Anda mengambil AI fisik tersebut dan kemudian memasukkannya ke dalam objek fisik yang disebut robot, Anda akan mendapatkan robotika," jelas Huang.

"Jadi mudah-mudahan, dalam 10 tahun ke depan, saat kami membangun pabrik dan pabrik generasi baru ini, mereka sangat robotik dan membantu kami mengatasi kekurangan tenaga kerja yang parah yang kami alami di seluruh dunia," pungkasnya. 

(dmi/dmi)

Read Entire Article
Korea International