Jakarta, CNN Indonesia --
Manusia adalah makhluk adaptif, memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di berbagai belahan bumi, mulai dari suhu tertinggi hingga terendah.
Apa yang kamu bayangkan jika mendengar 'kota terdingin di bumi'? Mungkin yang terlintas di pikiran kamu adalah hamparan salju tebal dengan es yang membeku di mana-mana.
Faktanya, kota terdingin di bumi juga mempunyai peradabannya sendiri. Meskipun disebut sebagai kota terdingin, tetapi masyarakat yang hidup di sana masih menjalankan aktivitas normal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yakutsk di Siberia, adalah kota terdingin di bumi dan menjadi rumah bagi 280 ribu orang. Mereka bukan sekadar bertahan hidup dari dinginnya suhu di sana, tapi benar-benar menjalani hidup dengan baik.
Udara di Yakutsk luar biasa dingin, bisa mencapai minus 40 derajat Celsius bahkan lebih setiap tiga bulan dalam setahun. Meskipun ada beberapa tempat dan pemukiman lain yang lebih dingin seperti Oymyakon dengan -88 derajat, tetapi hanya Yakutsk pemukiman yang berfungsi penuh sebagai kota di tengah suhu ekstrem.
Di balik tanahnya yang membeku, Yakutsk menyimpan kekayaan alam yang melimpah karena tambang berlian berkilauan di bawah sana.
Tambang lokal Yakutsk merupakan penyumbang seperlima produksi berlian di dunia. Bukan hanya berlian, gas alam, minyak, emas, perak, dan mineral juga menjadi aset berharga Yakutsk.
Masyarakat yang tinggal di kota terdingin di bumi ini sudah terbiasa dengan suhu di sana. Yakutsk memiliki beberapa pasar terbuka, menariknya bahan makanan yang dijual jadi jarang rusak atau basi karena udara di Yakutsk sudah sedingin kulkas.
Pasar di Yakutsk tidak berbau, karena daging dan ikan yang dijual semuanya membeku secara alami. Masyarakat di sana sangat senang mengkonsumsi daging, menu favorit mereka adalah hati kuda mentah yang segar.
Pada 2013, Steve Luncker, seorang fotografer yang juga tumbuh di tempat dingin yaitu di Pegunungan Alpen Swiss (suhunya sekitar minus 4 derajat Celsius, memutuskan untuk melihat bagaimana kehidupan orang-orang yang tinggal di kota terdingin itu.
Setibanya di Yakutsk, putri dari pemilik penginapan menyambut Luncker di bandara. Sambutan ini cukup membuat Luncker terheran-heran, karena dari ujung kepala hingga ujung kaki wanita itu ibarat perisai untuk menghadapi musim dingin.
"Topi, sarung tangan, syal, sepatu bot. Siapa yang tahu bahwa hanya melangkah keluar untuk memanggil taksi membutuhkan kehati-hatian seperti itu?" Kata Luncker, dilansir dari National Geographic.
Hari-hari tamasya Luncker di Yakutsk selalu direncanakan dengan hati-hati. Menurutnya, jalan santai sambil belanja adalah kegiatan yang tak tepat di Yakutsk.
"Di sini dingin menentukan segalanya, atau lebih tepatnya, cara tubuh Anda bereaksi terhadap dingin yang menentukan tindakan Anda," ujarnya.
Kembali ke misi pengamatannya, ia memperhatikan perilaku penduduk setempat yang ternyata sering mengunjungi tetangga tapi untuk beberapa menit saja.
Layaknya fotografer yang melihat kejadian unik, ia menyambar kamera dengan lensa kembar Rolleiflex miliknya untuk mengabadikan momen. Selang 15 menit asyik dengan pekerjaannya, ia berhenti karena jari-jarinya mulai mati rasa.
"Mereka akan masuk, melepas lapisan pertama pakaian mereka, minum teh panas, dan bersulang sebelum berkumpul lagi dan melangkah keluar. Seolah-olah tempat tinggal tetangga mereka berfungsi sebagai titik estafet di sepanjang perjalanan mereka," cerita fotografer asal Swiss itu.
Meskipun Yakutsk berselimut salju tebal dengan es yang berkilau, tetapi kota ini tetap berbahaya jika manusia tak terbiasa dengan suhu ekstrim di sana. Terkecuali bagi penduduk setempat yang sudah menormalisasi suhu dingin itu sebagai bagian dari kehidupannya.
"Sangat mudah untuk tersesat ketika Anda tidak dapat melihat 10 meter di depan Anda dan ketika setiap jalan menyerupai yang berikutnya," pesan Luncker.
(ana/wiw)
















































