Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan peningkatan arus investasi asing langsung (foreign direct investment/ FDI) ke Indonesia seiring rencana Amerika Serikat (AS) menerapkan kebijakan tarif dagang baru.
Meskipun kebijakan tersebut diperkirakan menekan kinerja ekspor-impor, Indonesia dinilai berpotensi menjadi tujuan alternatif bagi investor global yang ingin menghindari hambatan tarif ke pasar AS.
"Secara kuantitatif tidak disebutkan angkanya, tapi diprediksi akan meningkatkan aliran investasi asing ataupun FDI apabila tarif ini diberlakukan, baik resiprokal ataupun yang new baseline tariff," ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono dalam konferensi pers di Kemendag, Jakarta Pusat, Senin (21/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Djatmiko menjelaskan simulasi internal Kemendag menunjukkan skenario tarif baru oleh AS justru menciptakan celah investasi, meskipun di sisi lain menimbulkan tekanan terhadap aktivitas perdagangan luar negeri Indonesia.
AS mengenakan tarif dasar alias new baseline tariff sebesar 10 persen dan akan mengenakan tarif timbal balik atau tarif resiprokal yang mencapai 32 persen terhadap Indonesia.
"Tapi kita sudah bisa mensimulasi bila kebijakan tarif ini diterapkan, karena Amerika menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia, tentu akan memberikan implikasi yang tidak sedikit kepada negara-negara di dunia," kata Djatmiko.
Kebijakan ini diprediksi berdampak besar terhadap negara-negara dengan tingkat integrasi ekonomi yang tinggi dengan AS, seperti Kanada dan Meksiko.
Meski mereka memiliki perjanjian dagang dengan AS, penerapan tarif baru tetap menimbulkan tekanan. Indonesia pun tak luput dari dampak tersebut.
Djatmiko menyebut pihaknya telah memetakan potensi penurunan kinerja ekspor dan impor di berbagai sektor akibat kebijakan tersebut.
Simulasi dilakukan terhadap sektor-sektor seperti manufaktur, kimia, hingga pertanian, dengan memperkirakan efek dari dua skenario tarif yang berbeda.
"Dengan range yang berbeda-beda untuk masing-masing sektor. Jadi kita bisa mensimulasikan kalau tarif 10 persen yang new baseline tariff diterapkan itu seperti apa, untuk sektor A, B, C, D. Kemudian ditambah lagi misalnya di-replace dengan reciprocal tariff yang lebih besar, yang 32 persen instead of 10 persen, nanti dampaknya terhadap masing-masing sektor seperti apa," ujarnya.
Namun, di balik potensi tekanan tersebut, Indonesia berpotensi diuntungkan sebagai salah satu destinasi investasi baru.
Djatmiko menjelaskan perusahaan multinasional dapat mengalihkan produksi atau membuka basis operasi baru di Indonesia untuk menghindari beban tarif tinggi jika tetap beroperasi di negara-negara yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif AS.
Ia menegaskan Kemendag akan terus memantau kebijakan dagang internasional dan merancang respons yang tepat untuk menjaga daya saing nasional.
(del/sfr)