Jakarta, CNN Indonesia --
Perang dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump untuk Indonesia diprediksi bakal melahirkan 1,2 juta kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Prediksi disampaikan Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda dengan mengutip data International Monetary Fund (IMF) yang menyebut bahwa setiap 1 persen tarif yang dikenakan Trump bakal mengurangi impor AS sekitar 0,8 persen.
Imbasnya, harga barang di Negeri Paman Sam meroket dan permintaan impor akan anjlok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kita hitung, hasilnya 1,2 juta (korban PHK di Indonesia imbas tarif Trump). Untuk (sektor) produksi tekstil dan produk tekstil (TPT) sendiri sekitar 191 ribu tenaga kerja yang berpotensi terkena PHK," bebernya dalam Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) di Pomelotel, Jakarta Selatan, Kamis (17/4).
"Ada beberapa yang lain, seperti kimia dasar dan sebagainya yang menjadi salah satu barang yang dibutuhkan oleh AS. Termasuk juga minyak hewani dan nabati dari palm oil. Itu kita hitung ternyata yang dari sisi crude palm oil (CPO) akan kehilangan sekitar 28 ribu tenaga kerja," sambung Huda.
Nailul Huda menekankan dampak ini tidak terelakkan jika Indonesia tak mengganti pasar ekspornya dari AS. Pada akhirnya, permintaan dari pasar Amerika bakal terus merosot.
Ia menyebut pabrik-pabrik di tanah air mau tak mau mesti menyesuaikan produksinya alias melakukan rasionalisasi. Jumlahnya bakal disesuaikan dengan permintaan internasional dan domestik.
"Pasar internasional turun, otomatis produksi yang akan dibuat sama perusahaan dalam negeri juga akan turun. Ketika produksi perusahaan turun, otomatis akan mempengaruhi tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut," jelas Huda.
"Artinya, buat apa kita produksi banyak (barang yang selama ini diimpor ke AS), tapi permintaan di Amerika turun?" tambahnya.
Di lain sisi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif menyiapkan strategi untuk meredam dampak serangan dagang itu. Salah satunya adalah mengimpor kapas atau katun lebih banyak dari AS.
Ian menegaskan langkah ini bukan serta-merta diartikan menambah impor dari AS. Namun, pengusaha mengalihkan kebutuhan sumber kapas dari yang sebelumnya dipenuhi dari negara selain Amerika.
"Industri tekstil (Indonesia) sudah menawarkan, kita akan membeli katun lebih banyak (dari Amerika) ... Kita bisa dapatkan tarif lebih rendah (jika memakai kapas/katun dari AS). Itu yang dari industri tekstil dan asosiasi tekstil offer ke Amerika sebagai satu offering," beber Ian.
AS disebut-sebut punya aturan semacam tingkat komponen dalam negeri (TKDN), termasuk dalam urusan katun atau kapas di pakaian. Bahkan, Amerika bisa mendeteksi langsung bahan tersebut apakah benar-benar dari negaranya atau bukan.
Setidaknya Indonesia mesti memenuhi 20 persen-50 persen bahan kapas atau katun AS dari pakaian yang diekspor ke Amerika. Dengan begitu, ekspor TPT bakal mendapat pengurangan tarif.
"Kita tanggal 20 (April 2025) ini bakal ketemu dengan beberapa cotton grower, kita undang dan pertemukan langsung dengan buyer biar bisa langsung bikin keputusan di tempat. Dan nanti Indonesia itu akan ada agreement baru dengan USA under Trade and Investment Framework Agreement (TIFA)," ungkapnya.
"Amerika itu enggak produksi tekstil. Gak produksi baju (dan) kain, tapi produksi katun yang cukup besar, sangat besar ... Mereka akan mengizinkan produk-produk (TPT) yang memakai katun Amerika itu masuk dengan tarif yang lebih rendah," sambung Ian.
Impor kapas dari AS diperkirakan bakal naik dari 17 persen menjadi 50 persen. Ian menyebut jumlahnya sekitar US$400 juta, tak cukup besar untuk membuat neraca dagang Indonesia-AS impas.
Presiden Amerika Serikat tengah mengobarkan perang dagang ke sejumlah negara. Salah satu yang terkena serangan adalah Indonesia.
Indonesia dihajar dengan tarif impor 32 persen. Indonesia memutuskan untuk tidak membalas serangan itu, tapi memilih bernegosiasi dengan pemerintah AS.
Keputusan itu disambut AS dengan menunda pemberlakuan tarif 32 persen tersebut.
(skt/agt)