CNN Indonesia
Minggu, 28 Des 2025 20:00 WIB
Banyak anak muda yang sebelumnya berpartisipasi pada pemilu terakhir tampak absen dalam pemilu Myanmar kali ini. (Foto: AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA)
Jakarta, CNN Indonesia --
Para pemuda disebut absen dalam pemilu pertama di Myanmar pada Minggu (28/12). Ini merupakan pemilu pertama usai lima tahun perang saudara bergejolak di Myanmar.
Banyak anak muda yang sebelumnya berpartisipasi pada pemilu terakhir tampak absen dalam pemilu kali ini. Pemilih yang lebih tua mendominasi jumlah pemilih pada pemilu kali ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir AFP, banyak warga meninggalkan negara yang dilanda perang ini sejak militer mengambil alih kekuasaan lima tahun lalu. Mereka yang pergi dari Myanmar termasuk para pria usia wajib militer hingga 35 tahun atau anak muda yang mencari penghidupan yang lebih baik di luar negeri akibat ekonomi Myanmar yang lesu.
Sementara itu, anak muda yang masih berada di dalam negeri juga tidak terlalu antusias mengikuti pemilu kali ini. Para aktivis hak asasi manusia internasional menganggap pemilu kali ini yang digelar junta militer sekadar sandiwara belaka.
"Sebagian besar orang yang pergi untuk memilih adalah orang tua," kata seorang pria berusia 20-an di kawasan Mandalay, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan.
"Saya tidak berpikir ada yang ingin terlibat dalam kekacauan ini. Orang-orang mungkin tidak percaya pada keadilan pemilihan ini," lanjutnya, melansir AFP.
Di tempat pemungutan suara dekat Pagoda Sule di pusat kota Yangon, para pemilih mayoritas merupakan orang tua, ibu-ibu yang membawa anak-anak, dan ibu rumah tangga.
Menurut pejabat setempat, dari sekitar 1.400 orang yang terdaftar di lokasi pemilihan itu, kurang dari 500 orang sudah menggunakan hak pilihnya kurang dari dua jam sebelum pemungutan suara ditutup.
Pada pemilu terakhir pada tahun 2020, tingkat partisipasi pemilih mencapai sekitar 70 persen.
Sein Yee, seorang guru sekolah desa yang telah pensiun, mengatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu adalah kewajiban bagi semua warga negara.
"Ini adalah kesempatan bagi semua warga negara untuk mewujudkan perdamaian di negara ini," ujar Sein.
Myanmar terjebak dalam perang saudara akibat kudeta militer pada tahun 2021, dan dua tahun lalu pemerintah memberlakukan wajib militer untuk memperkuat pasukannya dalam menghadapi gerilyawan serta pasukan minoritas etnis yang telah lama menguasai wilayah pinggiran negara tersebut.
"Saya pikir ini adalah pemilihan yang tidak adil yang diadakan melawan kehendak rakyat," kata Kyaw Min Thein, seorang pria berusia 35 tahun di negara bagian Rakhine di barat, yang hampir sepenuhnya dikuasai oleh pasukan etnis minoritas.
"Saya tidak berpikir akan ada perubahan. Saya pikir ini hanya untuk mereka mengganti seragam militer mereka dengan seragam sipil dan mempertahankan kekuasaan mereka."
(dmi/dmi)















































