Bencana Sumatra, Bukti Badai Siklon Makin Parah Imbas Krisis Iklim

4 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Bencana banjir dan longsor yang menghantam Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menunjukkan bahwa badai siklon yang terjadi saat ini semakin parah imbas krisis iklim.

Badai siklon tersebut memicu hujan lebat, merusak infrastruktur, menimbun rumah-rumah dengan lumpur, serta mengoyak lereng-lereng hijau, meninggalkan keluarga-keluarga yang terperangkap di atap rumah sambil menunggu pertolongan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak buruk ini menandai peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah peristiwa cuaca mematikan di seluruh wilayah, yang diperparah oleh lapisan polusi karbon yang memanaskan planet ini.

Sebuah tinjauan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa Asia Selatan dan Asia Tenggara akan mengalami curah hujan yang lebih intens seiring dengan kenaikan suhu, dengan wilayah musim hujan menghadapi peningkatan signifikan dalam frekuensi banjir.

Roxy Koll, ilmuwan iklim di Institut Meteorologi Tropis India dan salah satu penulis laporan terbaru IPCC, mengatakan bahwa badai siklon berubah lebih dari jumlahnya pada musim ini.

"Mereka lebih basah dan lebih merusak karena iklim dasar telah berubah. Air, bukan angin, kini menjadi faktor utama penyebab bencana," kata Koll, melansir The Guardian, Selasa (2/12).

Pola cuaca alami, termasuk siklus La Niña dan pola dipole negatif Samudra Hindia, telah membantu menciptakan kondisi yang diperlukan untuk pembentukan badai.

Meskipun para ilmuwan belum menentukan sejauh mana polusi pemanasan planet berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah korban jiwa, mereka telah lama menetapkan bahwa udara yang lebih hangat menampung lebih banyak uap air, sekitar 7 persen lebih banyak untuk setiap derajat Celsius pemanasan.

Kelembapan tambahan ini, bersama dengan energi yang meningkat dari lautan yang lebih panas, menyebabkan badai yang jauh lebih kuat.

"Di seluruh Asia Selatan dan Tenggara, badai musim ini membawa jumlah kelembapan yang luar biasa," kata Koll.

Laut dan udara yang kian hangat membuat sistem cuaca membawa lebih banyak uap air, sehingga bahkan badai berintensitas sedang pun kini menghasilkan hujan ekstrem, mengacaukan kestabilan lereng, dan memicu rangkaian bencana.

"Longsor dan banjir bandang kemudian melanda kelompok yang paling rentan, yaitu masyarakat yang tinggal di sepanjang lingkungan yang rapuh ini," lanjutnya

Di Indonesia, kondisinya diperparah dengan deforestasi. Sejumlah wilayahb rawan kini semakin rentan terhadap banjir, karena hutan-hutan yang seharusnya dapat menyerap air dan menstabilkan tanah kini dibabat habis.

Sonia Seneviratne, seorang ilmuwan iklim di ETH Zurich dan co-author laporan terbaru IPCC, mengatakan bahwa faktor manusia lain mungkin memperparah keparahan banjir, tetapi hal ini tidak bertentangan dengan peran perubahan iklim dalam memperkuat curah hujan.

"Kami memiliki sinyal yang sangat jelas tentang peningkatan curah hujan ekstrem seiring dengan pemanasan global, baik secara global maupun di Asia," kata Seneviratne.

"Pengaruh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia terhadap peningkatan curah hujan ekstrem telah terbukti secara ilmiah, dan ini merupakan faktor kunci dalam banjir yang dilaporkan," lanjut dia.

Dalam beberapa tahun terakhir jumlah korban jiwa akibat banjir dan badai memang menurun secara signifikan di seluruh dunia, seiring dengan upaya pemerintah dalam mendirikan sistem peringatan dini dan menjadi lebih terampil dalam mengevakuasi penduduk sebelum bencana terjadi.

Namun, bahkan di negara-negara berpendapatan menengah yang telah membuat kemajuan signifikan dalam mengurangi jumlah korban jiwa dan meningkatkan angka pengungsian, para ahli menyatakan bahwa sistem tanggap darurat masih belum merata.

Alexander Matheou, Direktur Wilayah Asia-Pasifik untuk Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mengatakan bahwa situasi di Asia Tenggara masih membutuhkan sistem peringatan dini yang lebih baik, tempat perlindungan aman bagi masyarakat jika banjir terjadi.

"Solusi berbasis alam yang lebih banyak - penanaman pohon dan mangrove di daerah-daerah yang berisiko tinggi terkena banjir untuk melindungi masyarakat," ungkap Matheou.

"Orang-orang juga membutuhkan sistem perlindungan sosial yang lebih baik dalam bencana sehingga mereka dapat segera mendapatkan uang tunai, makanan, obat-obatan, dan tempat berlindung yang mereka butuhkan saat bencana terjadi," lanjutnya.

(wpj/dmi)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Korea International