Jakarta, CNN Indonesia --
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan 68,6 persen responden khawatir ada potensi tumpang tindih kewenangan ketika prajurit TNI masuk ke lembaga sipil.
Secara rinci dalam survei responden diberi pertanyaan 'khawatir atau tidak ada potensi tumpang tindih kewenangan ketika TNI masuk ke lembaga sipil'.
Hasilnya, 0,9 persen responden sangat tidak khawatir, 28,2 persen responden tidak khawatir, 54,1 persen responden khawatir, 14,5 persen responden sangat khawatir dan 2,3 persen responden tidak tahu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apabila dilihat lebih dalam, derajat kekhawatiran paling tinggi ditunjukkan oleh responden dengan pendidikan tinggi," dikutip dari Kompas.id, Jumat (28/3).
Survei mencatat kekhawatiran yang ditunjukkan oleh kelompok responden pendidikan tinggi mencapai 81,5 persen.
Sementara di kalangan responden berpendidikan dasar, kekhawatiran adanya tumpang tindih ketika anggota TNI masuk ke lembaga sipil berada di angka 64,5 persen.
Kekhawatiran tinggi yang ditunjukkan oleh responden berpendidikan tinggi dinilai lumrah karena paparan informasi dan derajat pengetahuan kalangan tersebut mengenai isu pengesahan undang-undang tampak lebih dalam.
"Apalagi jika ditarik dalam konteks sejarah, sangat mungkin ada trauma terulangnya pendekatan militer dilakukan secara masif semasa Orde Baru," tulis Litbang Kompas.
Masih dari hasil survei, ditemukan hanya 34,5 persen responden yang menyatakan mengetahui pembahasan pengesahan UU TNI di DPR.
Sisanya, hampir tujuh dari sepuluh responden mengaku tidak tahu ada proses tersebut.
Jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan responden, tampak adanya perbedaan pengetahuan. Di kalangan responden berpendidikan rendah, hanya 19,8 persen yang tahu adanya pengesahan UU TNI.
Sementara di kalangan responden berpendidikan menengah, tingkat pengetahuannya akan revisi UU TNI hanya 35,2 persen. Angka ini berbeda di kalangan responden berpendidikan tinggi yang tingkat pengetahuannya mencapai 70,4 persen.
Menurut kompas, temuan itu menunjukkan bahwa isu pembahasan mengenai UU TNI relatif hanya dipahami kelompok masyarakat berpendidikan tinggi.
Sebaliknya, masyarakat berpendidikan rendah dan menengah cenderung tidak tahu ada pengesahan UU TNI.
"Rendahnya pengetahuan masyarakat ini menunjukkan minimnya sosialisasi dan pelibatan masyarakat oleh DPR dalam pengesahan UU TNI. Catatan lain, publik sejatinya tidak melihat ada urgensi pengesahan RUU TNI," demikian Litbang Kompas.
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan 57,8 persen responden menilai pengesahan UU TNI tidak mendesak. Hanya 34,9 persen responden yang menilai pengesahaan undang-undang ini mendesak.
Survei digelar Litbang Kompas pada 17-20 Maret 2025. Sebanyak 535 responden dari 38 provinsi berhasil diwawancara. Sampel ditentukan secara acak dariresponden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ± 4,25 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi.
Jajak pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).
(fra/yoa/fra)