Jakarta, CNN Indonesia --
Di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, berdiri sebuah bangunan besar yang menyimpan sejarah panjang edukasi sains di Indonesia. Planetarium Jakarta, yang sempat menjadi ikon wisata edukatif akhirnya bangkit dari 'mati suri' setelah 13 tahun lamanya, dan kembali dibuka pada Selasa (23/12).
Sejarah Planetarium Jakarta bermula pada 1969, di masa pemerintahan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Meski Indonesia telah memiliki Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Soekarno menilai Jakarta tetap perlu memiliki planetarium dan observatorium sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, pemahaman masyarakat tentang benda-benda langit masih kerap bercampur dengan takhayul. Fenomena alam seperti gerhana dan kemunculan komet sering dikaitkan dengan pertanda buruk, mulai dari bencana alam hingga wafatnya tokoh besar.
Melihat kondisi tersebut, Sang Proklamator berkeinginan membangun Planetarium agar masyarakat tidak lagi mengaitkan fenomena langit dengan hal-hal mistis. Melalui fasilitas observatorium, publik diharapkan bisa memahami astronomi secara ilmiah dan rasional, sekaligus menikmati keindahan jagat raya.
Soekarno pun menggadang-gadang Planetarium Jakarta sebagai yang terbesar di dunia pada masanya.
"Planetarium akan kita dirikan di Jakarta ini, di tempat ini, adalah planetarium yang terbesar di seluruh dunia," ujar Soekarno dalam sebuah pidato, mengutip berbagai sumber.
Bahkan, saat itu Planetarium Jakarta menjadi yang pertama di Asia Tenggara. Soekarno membayangkan sekitar 500 orang dapat duduk di bawah kubah raksasa sambil menyaksikan panorama antariksa.
"Sehingga di bawah kubah itu bisa duduk orang. Lima ratus orang. Di lain-lain tempat cuma tiga ratusan. Saudara-saudara, ini Indonesia bukan main," lanjutnya.
Pembangunan Planetarium tentu menelan biaya besar, mencapai miliaran rupiah dan jutaan dolar Amerika Serikat pada masa itu. Atas rekomendasi tenaga ahli Observatorium Bosscha, berbagai perangkat utama Planetarium didatangkan langsung dari Jena, Jerman Timur.
Namun, Soekarno tak ingin pembangunan ini membebani keuangan negara. Pemerintah kemudian menggandeng perusahaan swasta yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) untuk turut membiayai proyek tersebut. Berdasarkan catatan, GKBI menyumbang dana sebesar Rp1,67 miliar.
Sayangnya, pembangunan Planetarium terhenti pada 1967 akibat gejolak politik pasca-peristiwa G30S/PKI. GKBI menghentikan pencairan dana, sehingga pembangunan baru terealisasi sekitar setengah dari rencana awal.
Pembangunan kembali dilanjutkan pada akhir 1967 melalui dukungan dana Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Secara bertahap, Planetarium akhirnya rampung dan diresmikan pada 20 November 1968.
Pertunjukan perdana digelar pada 1 Maret tahun berikutnya, tanggal yang kemudian diperingati sebagai hari ulang tahun Planetarium Jakarta.
Planetarium ini dilengkapi proyektor utama yang diterbangkan langsung dari Jerman, 89 proyektor efek khusus di ruang pertunjukan, unit pengontrol elektronik, serta perangkat audiovisual pendukung.
Pada 1982, astronom Darsa Soekartadiredja mengusulkan pembelian teleskop portabel untuk mengamati Gerhana Matahari Total yang terjadi pada Juni tahun berikutnya. Seiring waktu, teleskop tersebut mengalami penurunan kualitas. Pada 1994, Pemda DKI Jakarta kembali menyetujui pembelian teropong bintang baru berdiameter 31 cm.
Modernisasi berlanjut pada 1996, ketika Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta memperbarui sistem pertunjukan. Proyektor generasi terbaru dari Carl Zeiss menggantikan proyektor lama yang telah beroperasi selama 27 tahun.
Selama bertahun-tahun, Planetarium Jakarta terus dirawat dan ditingkatkan fungsinya. Tempat ini menjadi ruang belajar favorit bagi pelajar untuk mengenal tata surya dan ilmu astronomi, dengan teater bintang sebagai daya tarik utama.
Kisah-kisah langit, dari cerita rakyat Nusantara seperti Joko Belek hingga mitologi Yunani tentang Orion sang pemburu, disajikan secara memikat.
Masa keemasan itu terhenti pada 2019, seiring revitalisasi kawasan TIM yang disusul pandemi Covid-19. Operasional Planetarium pun berhenti total. Meski revitalisasi TIM rampung pada 2022, Planetarium Jakarta tak kunjung dibuka untuk umum.
Selama 13 tahun mati suri, kerinduan publik terhadap Planetarium Jakarta tetap terjaga melalui pertunjukan Planetarium Mini. Hingga akhirnya, pada 23 Desember 2025, Planetarium Jakarta resmi dibuka kembali oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo.
Kini, Planetarium Jakarta hadir dengan wajah baru dan teknologi yang lebih mutakhir. Sebagai perayaan pembukaannya kembali, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan akses kunjungan gratis selama tiga bulan bagi pelajar.
Antariksa pun kembali bisa dijelajahi dari jantung ibu kota. Selamat datang kembali, Planetarium Jakarta.
(ana/tis)


















































