Jakarta, CNN Indonesia --
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kenaikan harga beras yang terus terjadi sejak awal 2025 menunjukkan adanya persoalan dalam tata kelola pangan nasional.
Ia menyebut tren harga tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Di tahun ini, kenaikan harga beras terjadi setiap bulan sehingga mengindikasikan ada hal tak beres.
"Untuk tahun 2025 ini, tidak ada bulan di mana harga beras tidak naik. Naik terus. Dari Januari sampai detik ini harga beras naik terus. Berarti kan ada something wrong. Ada sesuatu yang salah. Apakah sesuatunya tersebut karena produksi turun? Ya enggak," kata Andreas dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (26/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, produksi beras nasional tahun ini justru diperkirakan meningkat. Hasil perhitungannya menunjukkan ada kenaikan produksi sekitar 5 persen dibanding 2024, meski Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebelumnya menyebut bisa mencapai hingga 10,7 persen.
"Naik pasti (produksi beras), karena apa? Kita bandingkan dengan tahun lalu yang produksi beras kita itu terendah selama 20 tahun terakhir, pada titik nadir. Kalau sudah pada titik nadir, maka bisanya ya naik, enggak bisa lagi turun," ujarnya.
Namun, meski produksi naik, Andreas menilai ketersediaan beras untuk konsumsi justru menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Pada 2023, ketersediaan beras mencapai 34,14 juta ton, pada 2024 naik menjadi 35,12 juta ton karena adanya impor 4,5 juta ton, sementara tahun ini hanya sekitar 33,9 juta ton.
"Sehingga kalau perhitungan saya betul, maka pasti akan ada masalah terkait harga," katanya.
Selain faktor produksi dan stok, Andreas juga menyoroti tata kelola perberasan. Menurutnya, pada 2023-2024 saat pengaturan beras hanya ditangani Bapanas, harga masih relatif terkendali. Namun, tahun ini banyak pihak ikut mengatur sehingga tata niaga terganggu.
Ia mengingatkan ada empat prinsip utama atau golden rule dalam tata kelola pangan, yakni kebijakan berbasis fakta, kehati-hatian dalam menerjemahkan sinyal harga, independensi lembaga penyimpan cadangan pangan pemerintah, serta harmonisasi antara pemerintah dan swasta.
"Sekarang ini Bulog menghadapi persoalan sangat besar terkait dengan stok karena begitu banyak pihak yang mencampuri urusan Bulog. Perhitungan saya, disposal (pembuangan) tahun ini bisa lebih dari 100 ribu ton. Kalau 100 ribu ton saja, negara dirugikan Rp1,2 triliun," ungkapnya.
Ia menambahkan margin perdagangan beras di Indonesia relatif kecil sehingga usaha beras sebenarnya tidak terlalu menguntungkan.
"Usaha beras itu sebenarnya tidak menguntungkan amat. Tidak untung-untung amat. Kami mengalami sendiri di jaringan tani kami," imbuhnya lebih lanjut.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga beras memang meluas di lapangan. Hingga minggu ketiga Agustus 2025, kenaikan harga beras terjadi di 200 kabupaten/kota.
Rata-rata harga beras medium di zona 1, yang meliputi Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi, sudah mencapai Rp14.005 per kg, di atas HET Rp12.500.
Di zona 2 (Sumatera bagian utara, Kalimantan, dan beberapa wilayah timur), rata-rata harga beras medium naik menjadi Rp14.872 per kg, sedangkan di zona 3 (Maluku dan Papua) tembus Rp18.899 per kg. Bahkan, di Kabupaten Intan Jaya, Papua, harga beras premium dilaporkan sudah menyentuh Rp60 ribu per kg.
(del/pta)