Benarkah Ada yang Menahan Laju Ekonomi RI di 5% Seperti Kata Purbaya?

10 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan ada pihak yang sengaja menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5 persen, sehingga dalam beberapa tahun ini lajunya mentok di kisaran tersebut.

Menurutnya, kondisi ini membuat banyak pengangguran karena laju ekonomi yang tertahan membuat lapangan usaha ikut seret.

Bahkan ia mengklaim apabila ekonomi tumbuh di atas 5 persen, pihak yang dimaksud akan gelagapan dan panas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini masalah yang serius banget. Ini fondasi yang membuat kita nggak bisa tumbuh di atas 6 persen selama ini," ujar Purbaya dalam economic Hari Keuangan Nasional di Studio CNN, Jakarta Selatan, Senin (27/10).

"Karena begitu 5 (persen) mendekati 6 (persen), diperlambat, 5 (persen) mendekati 6 (persen), diperlambat. Karena takut ekonomi kepanasan. Kepanasan apa? Orang pengangguran masih banyak," sambungnya.

Oleh sebab itu, ia berjanji akan membasmi penghalang tersebut demi mendorong pertumbuhan ekonomi tembus 6 persen dalam waktu dekat. Caranya dengan meluncurkan program yang bermanfaat langsung kepada rakyat.

"Saya pikir selama program-program dijalankan harusnya bisa lebih cepat karena private sector juga saya harapkan tahun depan bisa jalan lebih aktif. Tahun depannya lagi lebih cepat lagi. Mungkin di tahun kelima kita sudah kelihatan, tahun kelima Pak Prabowo ya, sudah mulai lihat tuh bayangan-bayangan ke 8 persen," tandasnya.

Namun, benarkah ada pihak yang benar-benar menahan ekonomi Indonesia agar tidak melesat lebih tinggi?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai isu tersebut perlu dipahami secara hati-hati. Ia mengaku tidak melihat adanya pihak tertentu yang sengaja mengatur agar ekonomi Indonesia mentok di angka 5 persen.

Menurutnya, justru ada faktor struktural yang membuat pertumbuhan Indonesia cenderung berhenti di kisaran 5 persen.

"Tidak ada pihak yang secara sengaja men-setting pertumbuhan ekonomi agar berhenti di angka 5 persen. Tapi saya sepakat bahwa ada equilibrium politik-ekonomi yang secara struktural membuat pertumbuhan Indonesia sulit menembus batas 5 persen," ujar Ronny kepada CNN Indonesia.

Menurut Ronny, salah satu penyebab utamanya adalah struktur ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Porsi konsumsi dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 54 persen-55 persen.

Sementara kontribusi investasi produktif, industri manufaktur bernilai tambah tinggi, dan ekspor produk berdaya saing masih terbatas. Kondisi ini membuat sumber pertumbuhan dari sisi produktivitas dan ekspor belum cukup kuat.

"Kalau ingin tumbuh di atas 5 persen tanpa menimbulkan tekanan makro seperti inflasi, defisit transaksi berjalan, atau pelemahan rupiah, dorongan dari sektor-sektor produktif itu harus jauh lebih besar," jelasnya.

Ronny juga menyinggung dimensi politik-ekonomi yang membentuk semacam 'keseimbangan' antara stabilitas dan pertumbuhan. Dalam pandangannya, sistem ekonomi Indonesia saat ini memang lebih berpihak pada stabilitas ketimbang percepatan pertumbuhan.

"Di balik pernyataan Pak Purbaya tentang 'ada yang kepanasan', saya kira yang dimaksud bukan aktor politik tertentu, tapi kelompok kepentingan ekonomi yang mungkin khawatir terhadap ketidakseimbangan makro," kata Ronny.

Ia mencontohkan, jika pemerintah memacu pertumbuhan terlalu cepat melalui stimulus fiskal atau ekspansi kredit, maka sektor keuangan bisa mengalami tekanan. Cadangan devisa, likuiditas perbankan, hingga stabilitas nilai tukar berpotensi terguncang.

"Bank sentral dan otoritas fiskal tentu akan lebih memilih pertumbuhan yang stabil dan terkendali, daripada lonjakan cepat tapi rapuh," imbuhnya.

Namun, di sisi lain, Ronny menilai bahwa sistem politik-ekonomi Indonesia juga menciptakan kecenderungan mempertahankan status quo.

Reformasi besar-besaran yang dibutuhkan untuk menembus pertumbuhan di atas 5 persen kerap berhadapan dengan resistensi kelompok yang selama ini menikmati kenyamanan sistem yang ada.

ogah

"Pertumbuhan tinggi menuntut reformasi struktural besar, perbaikan iklim investasi, efisiensi birokrasi, dan redistribusi sumber daya. Nah, reformasi seperti ini sering kali menggeser kenyamanan kelompok tertentu," jelasnya.

Bagi Ronny, situasi ini bukan berarti ada pihak yang sengaja menginjak rem, melainkan sistem yang sudah terbangun selama bertahun-tahun memang cenderung menjaga keseimbangan.

"Ekonomi kita berjalan di antara dua kepentingan besar yakni stabilitas dan pertumbuhan. Selama ini, keseimbangan itu masih lebih berat ke arah stabilitas," tuturnya.

Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kerap stagnan di angka 5 persen. Sesekali bisa sedikit lebih tinggi, namun sulit bertahan dalam jangka panjang tanpa reformasi mendasar di sisi struktural.

"Risikonya, pertumbuhan stagnan di angka 5 persenan, kadang di bawah itu," katanya.

Bersambung ke halaman berikutnya...


Read Entire Article
Korea International