AI Makin Canggih, Bikin Deepfake Realtime Sudah Masuk Tahap Realistis

1 hour ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha menyebut perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih membuat penipuan siber semakin membahayakan, salah satunya kemampuan deepfake secara realtime.

Ia menyebut teknologi GPU modern dan optimasi model deepfake membuat prosesnya lebih ringan, sehingga memungkinkan dilakukan hanya bermodalkan laptop gaming kelas menengah.

"Kemampuan melakukan deepfake secara realtime saat video call sudah berada pada tahap yang sepenuhnya realistis. Teknologi GPU modern dan optimisasi model deepfake membuat proses ini sangat ringan dibandingkan beberapa tahun lalu," ujar Pratama kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penipuan semacam ini tidak lagi membutuhkan perangkat superkomputer atau rig komputasi tingkat perusahaan. Sebuah laptop gaming kelas menengah dengan GPU 6-8 GB VRAM sudah cukup untuk menjalankan model deepfake realtime dengan kualitas yang meyakinkan," tambahnya.

Ia menambahkan sebagian teknik berbasis cloud memperkecil kebutuhan perangkat lokal sehingga siapa pun dengan akses internet dan kartu kredit dapat menjalankan layanan manipulasi wajah dan suara melalui platform AI-as-a-Service.

Dengan kata lain, hambatan teknis sudah turun drastis. Penjahat siber disebut tidak perlu lagi menjadi ahli teknis tingkat tinggi.

Para penjahat hanya perlu menggabungkan kemampuan sosial, kreativitas dan akses ke perangkat lunak yang tersedia luas untuk mengeksekusi penipuan jenis ini.

Pratama mengatakan perkembangan teknologi AI selama dua tahun terakhir telah mengubah lanskap keamanan siber secara fundamental.

Model generatif AI saat ini disebut semakin efisien, kemampuan komputasinya semakin terjangkau, dan akses ke perangkat lunaknya semakin mudah.

Perubahan ini tidak hanya mendorong inovasi positif, tetapi juga melahirkan peluang baru bagi para penjahat siber.

Salah satu bentuknya adalah penipuan berbasis deepfake, yang kini berkembang dari sekadar rekayasa video statis menjadi manipulasi visual dan audio yang berlangsung secara langsung.

"Fenomena ini menempatkan masyarakat dan organisasi pada situasi ancaman yang lebih kompleks karena batas antara interaksi asli dan tiruan semakin sulit dikenali," tuturnya.

Deepfake secara real time sendiri sangat memungkinkan dengan kehadiran berbagai model AI open-source maupun komersial telah mendukung manipulasi wajah dan suara dengan latensi rendah, bahkan hanya beberapa puluh milidetik.

Hal ini disebut memungkinkan penyerang menyamar sebagai atasan, rekan kerja, atau kerabat dalam sebuah panggilan langsung tanpa perlu melakukan perekaman atau penyuntingan sebelumnya.

Dalam konteks serangan sosial, kemampuan realtime ini menghilangkan waktu jeda yang dulu menjadi kelemahan deepfake tradisional, sehingga korban merasa sedang berinteraksi dengan manusia asli secara natural.

Tren siber 2026

Penipuan berbasis AI dinilai akan menjadi tren pada 2026 dengan tingkat otomatisasi dan personalisasi yang jauh lebih tinggi.

Pratama menyebut kombinasi data bocor, profil publik, serta model yang mampu meniru gaya bicara dan perilaku seseorang akan memperkuat fenomena impersonation fraud yang lebih sulit dideteksi.

"Penipuan investasi dan keuangan akan semakin dipaketkan dengan deepfake yang mampu memerankan selebritas, pejabat, atau tokoh publik," terangnya.

Kemudian, serangan business email compromise yang sebelumnya berbasis teks akan bergeser menjadi serangan business identity compromise yang meniru panggilan video pejabat perusahaan.

Selain itu, kata Pratama, AI akan digunakan untuk menemukan dan mengeksekusi kerentanan secara otomatis, menciptakan gelombang serangan yang memadukan rekayasa sosial dan eksploitasi teknis secara simultan.

Menurutnya, regulasi dan literasi digital yang menjadi amunisi untuk merespons penipuan siber kemungkinan akan terus mengejar, namun dinamika penyerangan akan tetap bergerak jauh lebih cepat dibanding kemampuan adaptasi masyarakat.

Di tengah kondisi ini, masyarakat dan organisasi didorong untuk memahami bahwa ancaman siber bukan lagi soal kompromi teknis semata.

"Identitas digital kini menjadi target sekaligus senjata. Kemampuan membedakan interaksi autentik dari interaksi artifisial akan menjadi kompetensi penting di level individu maupun institusi," tegas Pratama.

Di sisi lain, teknologi deteksi deepfake juga akan berkembang, namun efektivitasnya akan dibatasi oleh kecepatan evolusi teknik manipulasi AI.

Lebih lanjut, salah satu bagian paling krusial adalah membangun budaya verifikasi dua langkah, kebijakan anti-fraud yang lebih ketat, serta kesiapan organisasi untuk mengantisipasi serangan identitas yang semakin canggih.

"Dengan demikian, masyarakat dapat memasuki era 2026 dengan kesiapan yang memadai dalam menghadapi ekosistem ancaman yang semakin ditopang oleh kecerdasan buatan," pungkas Pratama.

(lom/fea)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Korea International