Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan Indonesia saat ini masih mengimpor 57 persen kebutuhan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS).
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan masih kuatnya ketergantungan terhadap sejumlah produk asal Negeri Paman Sam tersebut, terutama dalam sektor energi dan teknologi.
"Hari ini kita sudah mencapai 57 persen LPG itu dari Amerika," ujar Erick dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (20/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan pemerintah masih mempertimbangkan untuk menambah volume impor dari AS, namun tetap berhati-hati dalam melihat potensi risiko.
Menurut Erick, peningkatan ketergantungan terhadap satu negara dalam hal pasokan energi seperti LPG dapat menjadi masalah jika terjadi gangguan mendadak, misalnya bencana alam atau hambatan rantai pasok.
Oleh sebab itu, langkah diversifikasi pasokan terus dikaji, termasuk kemungkinan memperbesar impor minyak mentah (crude oil) dari AS yang saat ini baru mencapai 4 persen. Menurutnya, rencana ini masih dalam tahap pembahasan dan belum menjadi keputusan akhir.
"Apakah nanti crude oil ini kita bisa naikkan jumlahnya dari 4 persen misalnya ke 30 persen atau 25 persen," tambahnya.
Lebih lanjut, Erick juga menyebut Indonesia saat ini tengah menikmati surplus perdagangan yang cukup besar dengan AS. Namun ia menyampaikan surplus tersebut sebaiknya diimbangi dengan kerja sama ekonomi yang menguntungkan bagi kedua negara.
"Kita juga mesti mulai melihat kerja sama yang saling menguntungkan untuk kedua negara. Karena memang kalau kita lihat beberapa ekosistem yang ada di dalam negeri sendiri masih punya ketergantungan dengan beberapa pihak, terutama dari Amerika," ujarnya.
Selain LPG dan crude oil, ketergantungan Indonesia terhadap produk AS juga terlihat dalam sektor teknologi dan penerbangan.
Untuk perangkat lunak, kata Erick, penggunaan produk-produk seperti Microsoft masih dominan di dalam ekosistem BUMN. Sementara dalam industri penerbangan, ia mencontohkan dominasi dua pemain global, yakni Airbus dan Boeing.
Dalam pertemuan bilateral terakhir, pemerintah AS disebut telah mengajukan enam poin utama kerja sama, salah satunya menyangkut permintaan perlakuan setara terhadap investor mereka di sektor mineral strategis.
Erick menyatakan Indonesia telah membuka peluang investasi bagi berbagai pihak, termasuk perusahaan Amerika seperti Ford dan Volkswagen, yang terlibat dalam pengembangan hilirisasi nikel dan baterai di Indonesia.
Poin lainnya dari pihak AS mencakup permintaan perlakuan setara antara investor asing dan BUMN, transparansi dalam pemberian subsidi, serta kemungkinan dukungan pembiayaan investasi lintas negara.
Erick menyebut subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia ditujukan untuk keperluan sosial, bukan sebagai alat untuk meningkatkan daya saing industri secara tidak wajar.
"Mereka juga melihat, bisa enggak ada investasi yang dari Indonesia ke Amerika," ujar Erick.
Ia menyebut peluang tersebut sedang dipertimbangkan, terutama untuk memperkuat posisi energi Indonesia lewat sumber-sumber luar negeri.
Menurutnya, Indonesia juga telah memiliki investasi serupa di sejumlah negara lain, dan saat ini tengah mengevaluasi opsi untuk menambah keterlibatan dalam sektor energi di AS.
(del/agt)